Hari ini setiap orang pasti punya cerita. Meski hanya
dalam mimpi. Mimpi yang
bermacam-macam. Misalnya, pernah gak ketika baru bangun tidur kalian berjalan
sempoyongan, lantas menyadari ternyata masih dalam
mimpi. Biasanya itu terjadi setelah mimpi buruk. Dalam kondisi setengah sadar itu
kita akan
amat merasa bersyukur bila
bisa
terbangun. Kita akan merasa lebih baik dengan keluar dari kondisi tersebut.
Meski kemudian kembali
gelisah setelah mengetahui ternyata belum bisa bangan seutuhnya.
Nampaknya itu tak jauh berbeda dengan yang terjadi
di dunia nyata kita
hari ini. Setelah dikagetkan oleh nilai tukar mata uang kita yang terus menurun, pagi-pagi
usai bangun tidur berita kenaikan harga Elpiji sudah mewarnai awal hari. Begitu sulit
untuk bangun dari mimpi buruk bangsa ini yang (sayangnya) terus berkelanjutan. Itulah
kira-kira potret Negara hari ini.
Mungkin ada juga yang bilang, “Masalah-masalah itu kan jadi besar karena
diberitakan secara massal.” Namun, apa
lantas perilaku korupsi para penguasa tidak menjadi
masalah ketika dibiarkan, karena didiamkan.
Masalah-masalah tersebut muncul bukan karena media massa fokus terhadap
fenomena keburukan semata. Bukan
karena mereka tendensius terhadap pihak penguasa. Hal-hal itu
memang harus
muncul
sebagai indikasi bahwa masih banyak yang perlu dibenahi bangsa ini.
Kalau kita mau lihat lebih dalam, banyak persoalan bangsa
ini sebenarnya bermula dari satu hal. Kepemimpinan. Hari ini seakan-akan
sulit sekali bila
kita ingin melihat pejabat
yang baik-baik, pemimpin bangsa yang berintegritas tinggi. Bukan berarti tidak ada. Mereka
ada, namun keberadaannya sering kali dihiraukan
oleh lingkungannya. Itu
karena mereka anti mainstream. Fenomena ini hanya
menjelaskan sebuah fakta: orang baik tidak muncul dalam lingkar kekuasaan
karena mereka tidak dominan. Dan ini sudah lama jadi rahasia umum kita.
Pernah kan, di jalan kalian ketemu dengan
stiker bergambar seorang bapak berambut putih dan bermuka ramah? Biasanya
stiker itu ada di belakang truk atau angkutan niaga lainnya. Dalam stiker,
bapak itu berujar: “Esih penak jamanku
tho?” Iya,
enak sih. Apalagi
buat para pejabat yang doyan nyemilin kas negara. Perilaku mereka menjadi
kultur mainstream yang terpelihara
dengan baik. Tapi gak sedikit juga yang setuju dengan kalimat di stiker itu.
Pada umumnya mereka merasa Indonesia memang terlihat lebih tentram saat
zaman itu. Ya iya, tentram. Kan kalau ada yang gaduh sedikit bisa langsung
hilang.
“Di zaman itu juga gak ada korupsi.” Saya cuma bisa mesem-mesem kalau ada yang bilang begini. Mengutip kata-kata Mas
Pandji: tolong bedakan ‘tidak ada korupsi’ dengan ‘korupsi tidak diberitakan’. Pada
tahun ‘80-an saat itu, mana ada media massa yang berani lantang nyindir
pemerintah. Boro-boro mau
memberitakan pejabat Negara yang korup. Ada yang berani menyinggung sedikit
saja, kantor redaksinya bisa terancam gulung tikar. Enak kan jadi penguasa di zaman
itu? Terima bersih, istilahnya.
Tetapi, tenang kawan. Masa lalu tidak selalu buruk
untuk kita jadikan spion untuk terus melaju ke depan. Tengoklah ketika Sutan
Sjahrir dengan pidato dan argumennya mampu mematahkan semua serangan argumen
dari diplomat perwakilan Belanda di depan Dewan Keamanan PBB. Kemunduran Van
Kleffens dari perwakilan di PBB menjadi duta besar Belanda di Turki, menandai
konsekuensi kekalahan tersebut. Sjahrir pun muncul sebagai diplomat muda yang
populer di mata wartawan internasional saat itu.
Ingatlah, ramainya berita korupsi hari ini bukan cuma membuka
lembaran merah negeri. Fenomena ini menandakan suatu perubahan. Kelak, yang
baik bukan lagi inferior. Posisinya akan kembali pada sifatnya yang universal. Ini
adalah indikasi besar akan bangunnya satu bangsa besar di ZAMAN INI. Bangsa
yang dulu para pemudanya pernah bersumpah: “bertumpah tanah satu, tanah air
INDONESIA!
Apa untuk itu kita perlu berteriak lantang seperti
dulu kala? Seperti Presiden Soekarno yang berpidato lantang di hadapan PBB.
Seperti Bung Tomo yang setiap takbirnya menjadi api semangat bagi ratusan
pemuda di Surabaya. Jawaban saya: tidak perlu. Hari ini dengan menghubungi
sebuah stasiun televisi dalam satu acara jajak pendapat, suara kita sudah bisa
didengar satu Indonesia. Demokrasi menjadi sesuatu yang tak asing di telinga.
Masalahnya tinggal kita mau menjadikan demokrasi ini sebagai anugrah atau
tidak. Kuncinya: partisipasi. Untuk menggambarkan hal ini saya punya satu
cerita.
Tadi siang. Saya pulang kerja lewat jalan Ciater-BSD yang
sedang direnovasi. Jalan itu dicor separuh-separuh. Saat itu adalah Sabtu
siang. Waktu dimana volume kendaraan di Jabodetabek tiba-tiba meruak. Jalan
yang makin berlumpur setelah diguyur hujan itu pun dipenuhi deretan mobil dan
motor. Penyebabnya adalah penutupan separuh badan jalan yang sedang dalam tahap
pengeringan. Setelah berhasil menyeruak sampai di simpul kemacetan, ada satu
anak kecil yang kira-kira masih SD berteriak ke arah kami (kerumunan motor)
sambil mengibaskan tangannya ke udara –menginstruksikan ratusan motor untuk
minggir ke kiri (agar bisa dilewati kendaraan lain dari arah yang berlawanan).
Itu adalah hal biasa. Polisi
Cepek menjamur
di
setiap persimpangan
jalan. Anak kecil itu terus berteriak sambil jalan ke deretan motor di belakang
saya. Setelah saya dengar lebih
jelas lagi, suara anak kecil itu tak lazim. Dia bukan meneriakkan kata-kata
yang bisa kita mengerti. Anak kecil itu gagu rupanya. “Hwaagh!.. ghwagh!” Suara
seperti itu yang keluar dari mulutnya. Herannya kami (deretan motor yang
menumpuk) bisa langsung menghormatinya. Satu persatu minggir mempersilakan
mobil-mobil dari arah sebaliknya untuk lewat.
Setelah melewati simpul kemacetan itu saya bisa melaju
lurus tanpa hambatan. Sambil melihat panjangnya antrian kemacetan di jalur dari
arah sebaliknya. Antrian mobil itu mengular sampai sekitar 5 km. Lalu saya
teringat lagi dengan anak kecil tadi. Semakin panjang saya lihat kemacetan di
sisi kanan itu, makin merinding saya mengingat anak kecil tadi. Saya seperti
ditegur oleh anak kecil itu. Seberapa besar pun keterbatasannya, dia tetap
merasa kemacetan itu adalah bagian dari urusannya. Memilih untuk ikut bertanggung
jawab.
Apa anak kecil itu mengharapkan uang receh dari
tindakannya? Jelas.
Apakah dia berperan dalam mengurai kemacetan sepanjang 5 km? Jelas!
See? How difficult he
had to be.
Bagaimana jadinya bila semua orang di sana hanya mau mengutuk kemacetan itu?
Apa tidak ada orang dewasa lain di sana? Banyak. Para pengendara motor,
pengguna mobil, termasuk bapak-bapak yang juga jadi ‘Pak Ogah’ di persimpangan
itu. Dan di antara sekian banyak orang di sana, anak kecil itu bergerak lebih
dulu.
Saya memang tidak tahu apa motif tindakan anak itu.
Yang saya tahu anak seumuran itu semestinya masih memakai celana pendek merah.
Tugas utamanya adalah lancar menghitung penjumlahan dan perkalian. Tetapi dia
ada di sana. Memutuskan untuk berpartisipasi. Menjalankan peran orang-orang
yang lebih mampu daripada dia, atau (mungkin juga) peran orang-orang yang biasanya
digaji sama Dinas Perhubungan.
Nyatanya saya dan yang lain menikmati peran kami
sebagai pengguna jalan. Meski jalan umum itu sedang dalam perbaikan. Sehingga
kondisi itu menimbulkan konsekuensi yang lain. Dan itu menjadi konsekuensi kami
(pengguna jalan) bersama. But we don’t
think so. We are the main holder of the tax that we’ve paid. Saya (mungkin
kita) lebih suka berada di luar masalah. Mangkannya
kalimat yang lebih sering keluar, “Kan seharusnya ada pihak yang
bertanggung-jawab!” Tetapi anak kecil itu berpikir sebaliknya. Dia memilih
bertindak. Dan dia berhasil memutar keadaan. Kepadatan mobil di jalan raya
Ciater itu mulai berjalan lancar.
Itu adalah ilustrasi sederhana bagaimana ketika
dihadapkan pada suatu pilihan dalam situasi yang tidak diharapkan. Kembali ke
potret bangsa kita hari ini sebagaimana yang muncul di bermacam berita. Kita
seperti dihadapkan pada situasi yang tidak pernah kita harapkan. Ada anak-anak
sekolah yang Ujian Nasionalnya harus dijaga polisi berseragam lengkap layaknya
petugas bank yang ingin mengambil uang di mesin ATM. Korupsi yang menjadi
keunggulan negeri ini di antara negara lain (Indeks Persepsi Korupsi Indonesia
di urutan ke-114 dari 177 negara).
Tapi di sisi yang lain, tahukah kalian? Ada dua
mahasiswa Indonesia yang menjadi juara dunia olimpiade robotik internasional.
Fakta bahwa Indonesia adalah negara demokrasi terbesar ketiga di dunia.
Banyaknya pembongkaran kasus korupsi adalah salah satu buktinya. Itu berarti mulai
banyak warga yang melaporkan perilaku korup di sekelilingnya, dan mereka tidak
takut. Mereka berpartisipasi menyelamatkan kita dari budaya curang yang
terbukti telah banyak merobohkan bangsa-bangsa di dunia.
Seperti yang saya tulis di awal, partisipasi adalah
kunci. Kunci yang akan membuka potensi negara kita menjadi negara yang besar.
Dalam tahap yang lebih luas kita berperan penting untuk menentukan seperti apa
masa depan bangsa. Pesta demokrasi yang sebentar lagi akan berlangsung bisa
menjadi titik tolaknya. Saya hanya ingin bilang, bangunkan kesadaran politik
kita. Sadar untuk tidak mau terus-menerus jadi korban politisasi. Sadar sebagai
orang Indonesia yang sepenuhnya merdeka. Dan bangun sebagai warga Indonesia
yang seutuhnya berharga, yaitu dengan cara menolak siapapun yang mau menghargai
kita dengan nominal uang. Mungkin masih banyak teman kita yang rela menjual
diri –nasib mereka lima tahun ke depan dengan uang Rp50.000 (baca: gocap). Coba
ingatkan mereka. Itu kan berarti satu tahun cuma ceban (Rp10.000). Ingatkan
harga diri mereka, harga bangsa mereka yang berarti bangsa kita juga. Itu pun kalau mau. Kalau kita mau cepat bangun dari mimpi buruk yang sudah terlalu lama ini.
Kita akan selalu punya kekurangan. Tapi selalu
mengingat apa kelebihan kita, itu jauh lebih penting. Sebagai penutup, saya kutip kalimat seorang comic dan rapper Indonesia:
Hanya ada dua jenis anak muda di dunia:
Mereka yang menuntut perubahan
Mereka yang menciptakan
perubahan
Silakan pilih
perjuanganmu.
Komentar