Selama Sembilan tahun, dari SD hingga SMA pelajaran Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris tak pernah lepas dari papan tulis. Puluhan tahun dibutuhkan untuk dapat lulus dari sekolah militer. Lalu, kini saya harus menghabiskan tiga tahun untuk belajar di politeknik yang baru dibuka ini, Politeknik Negeri Media Kreatif. Muncullah pertanyaan, ilmu apa yang akan saya raih hanya dalam waktu tiga tahun disini. Hari perdana kuliah, dengan baju seragam hitam-putih dan ruangan kelas yang cukup nyaman untuk belajar, semua terlihat sempurna. Berusaha mengenal satu sama lain, menciptakan suasana yang ingin dirasakan siapapun. Kelas pertama yang kami tempati itu terlihat cukup bagus karena dosen langsung menghadap jendela lebar di belakang kami yang dapat menampilkan setengah wilayah Srengseng Sawah. Di depan ruangan itu terpampang tulisan cukup besar, “Penerbitan”. Namun, ternyata tulisan itu tidak cukup menggambarkan apa yang harus saya lakukan disini. Apa yang harus saya pelajari di tempat ini selama tiga tahun? Mungkin karena kata itu masih asing di telinga saya waktu itu. Tapi saya pikir, tentu tidak lebih mudah dari belajar bahasa Inggris selama Sembilan tahun bukan?
Dengan pertimbangan, jurusan penerbitan belum banyak peminatnya dan belum memiliki tenaga ahli, saya memutuskan mengambil jurusan ini dengan harapan dapat langsung diserap oleh lapangan kerja. Namun, angan-angan seperti mampu menerbitkan buku, bekerja di sebuah perusahaan penerbitan, atau seperti yang sering bapak Direktur kumandangkan, menciptakan usaha penerbitan sendiri. Itu semua tak dapat memberikan gambaran langkah nyata apa yang harus saya lakukan selama tiga tahun berada di tempat ini. Sampai akhirnya, ada satu mata kuliah yang mampu membuat saya paham proses pencapaian yang harus saya raih selama tiga tahun disini. Mata kuliah itu bernama Penulisan.
Tak banyak yang harus saya lakukan dalam mata kuliah itu selain tulis, baca, tulis, baca, dan tulis lagi. Tapi, ternyata ini tak semudah yang dibayangkan. Tulis dan baca memang terdengar seperti kegiatan belajar anak SD. Akan tetapi, kompetensi dasar yang harus dimiliki manusia yang hidup di zaman ini dikembangkan kembali, membentuk tulisan berkualitas. Tak berlebihan bila dikatakan nulis itu ibarat ngomong. Kegiatan menulis dan berbicara kadang memiliki tujuan yang sama, seperti ingin menyampaikan. Dari tulisan pun kerap mampu diketahui kosa kata apa saja yang sering dipakai penulis dalam sehari-harinya.
Semasa semester pertama, penulisan merupakan mata kuliah yang paling berkesan saya kira. Kini, tanpa terasa kami memasuki semester dua dengan beribu ancaman. Salah satunya adalah ancaman DO bagi mahasiswa yang jarang masuk. Sebagai langkah antisipasi pun, saya bersama teman yang berasal dari Surabaya menyewa sebuah rumah kontrakan yang tidak jauh dari kampus. Tidak ada kata-kata khusus yang mampu menggambarkan perjalanan selama semester dua ini, selain cerita seputar anak kost.
Akhirnya, saya tiba di semester tiga yang membuat saya merasa di tengah perjalanan yang tidak lama lagi akan sampai. Tanpa mengabaikan mata kuliah yang lain, Penulisan yang tidak kalah sulit dengan mata kuliah lain ternyata masih saya jadikan acuan keberhasilan proses kuliah di politeknik ini. Tanpa disadari, saya selalu menunggu saat Dosen mata kuliah penulisan menyampaikan evaluasi tugas penulisan yang kami kerjakan sebelumnya. Baiklah, mungkin ini salah satu bentuk upaya yang tidak sepenuhnya benar, tapi ternyata mata kuliah inti selalu ada di setiap jurusan.
Bahkan, kami sampai hafal bahwa akan ada mata kuliah kosong dalam dua hari, yaitu Senin dan Rabu. Tak ayal lagi, hal seperti itulah yang merusak proses KBM di semester ini, sehingga justru tidak lebih baik dari semester awal. Perjalanan satu setengah tahun kuliah di politeknik ini, memang menunjukkan kami mana yang penting atau tidak. Saya pun diingatkan kembali bahwa hidup ini memang menuntut kita untuk belajar dari kesalahan. Hal itu pula yang berusaha saya aplikasikan dalam mata kuliah Penulisan yang selalu latihan setiap pertemuan.
Selain tuhan, tentu tak ada yang tahu dua atau tiga tahun kita akan jadi apa. Namun, bukan berarti kita tak dapat menentukannya dari sekarang. Kesadaran itulah yang akhirnya menuntunku untuk tidak menyia-nyiakan tiga tahun di kampus yang masih baru ini. Tanpa berusaha mengelak, perasaan menyesal menjadi angkatan pertama politeknik negeri baru ini terkadang muncul ketika melihat proses perkuliahan disini tidak sama atau justru lebih buruk dari politeknik lain yang ruang kelasnya tidak lebih nyaman. Untungnya, perasaan semacam itu dapat terhapus dengan upaya saya untuk fokus pada satu-dua mata kuliah.
Komentar
ga jelek2 amt yh..
Buka www.cahayafitrah.tk