Langsung ke konten utama

Kemiskinan Tiada Akhir

Kemiskinan menjadi masalah yang tiada akhir di negeri ini. Sebelum merdeka, rakyat di negeri ini harus menggunakan pakaian berbahan karung goni untuk menahan dinginnya malam. Saat ini, fenomena serupa ternyata juga tidak sulit ditemukan di pinggir jalan kota Jakarta. Bedanya saat ini dengan kaus lusuh berwarna cerah yang dibagikan saat masa kampanye. Kasus mutilasi terhadap anak jalanan yang dilakukan babe, seakan menyadarkan kembali, ternyata masih banyak anak-anak terlantar yang masih diselimuti kemiskinan. Peralihan zaman telah terjadi dan persoalan kemiskinan masih menggurita di negeri kepulauan yang kaya akan sumber daya alam ini. Akankah kemiskinan menjadi masalah bangsa Indonesia yang tiada akhir?

Untuk menjawab pertanyaan diatas, penulis akan membedah masalah ini dari sudut pandang yang berbeda. Sebelumnya, mari lihat sedikit fakta mengejutkan di balik negara Indonesia yang begitu sulit keluar dari kubangan kemiskinan. Faktanya, saat ini, tanah Papua menghasilkan kekayaan tambang emas yang tiap tahun menghasilkan uang sebesar 40 triliun rupiah. Di Kaltim, batubara diproduksi sebanyak 52 juta meter kubik pertahun; emas 16,8 ton pertahun; perak 14 ton pertahun; gas alam 1.650 miliar meter kubik pada tahun 2005; dan minyak bumi 79.7 juta barel pertahun.

Sayangnya fakta di atas tidak berkorelasi dengan data penduduk miskin yang dikeluarkan BPS (01/07/09), data itu menunjukkan bahwa masih ada 32,5 juta penduduk miskin yang menghuni negeri ini atau sebesar 14,15 % dari seluruh jumlah penduduk Indonesia. Bahkan situs resmi LIPI merilis bahwa jumlah penduduk miskin di Indonesia diperkirakan akan bertambah menjadi 32,7 juta jiwa pada 2010. Jumlah ini jauh lebih kecil dari data Bank Dunia yang menyatakan, persentase orang miskin di Indonesia mencapai 53,4 %, atau dengan kata lain ada 120.150.000 orang miskin di Indonesia

Dilihat dari penyebabnya, terdapat tiga jenis kemiskinan yang terjadi di negeri ini. Pertama adalah kemiskinan natural atau kemiskinan alamiah yang timbul karena cacat, sakit parah dan lanjut usia. Kemiskinan jenis ini kerap dialami generasi tua yang tinggal di pedesaan. Tidak ada banyak hal yang bisa dilakukan oleh orang yang sudah tidak bisa apa-apa. Kemiskinan jenis ini biasanya dapat langsung diatasi oleh anak, saudara, dan kerabatnya yang lebih mampu.

Kedua adalah kemiskinan kultural, kemiskinan yang muncul sebagai akibat pengaruh dari budaya yang diciptakan lingkungan sosial. Inilah jenis kemiskinan yang tampaknya banyak terjadi di Indonesia. Lingkungan sosial yang membentuk budaya dan perilaku sosial, lebih banyak dibentuk oleh media eksternal, seperti televisi. Sikap dan perilaku hedonis yang selalu disajikan televisi, kerap menjadi acuan pencetak generasi muda negeri ini yang nyatanya tidak semuanya mapan. Akibatnya, perilaku konsumtif dan materialistis memasuki dinding-dinding rumah sebagian besar masyarakat Indonesia, bahkan juga gedung-gedung pemerintahan.

Kemiskinan dan keterbelakangan selalu berhubungan erat, salah satunya adalah keterbelakangan peradaban. Peradaban bangsa yang terbentuk oleh budaya dan perilaku masyarakat kita saat ini, sedikit banyak tercermin oleh perilaku para bondo nekat yang akhir-akhir ini disorot media massa. Korelasi antara peradaban dan kemiskinan dapat dilihat bila kita membandingkan negeri ini dengan negeri sakura, Jepang. Etos kerja yang tinggi telah lama menjadi budaya di negara penguasa industri otomotif itu. Sedangkan di Indonesia, semangat dan etos kerja tidak terlihat pada jam-jam kerja, bahkan ditemukan muda-mudi dengan seragam sekolah di pusat perbelanjaan.

Dalam perspektif budaya, kemiskinan tidak hanya dikarenakan oleh kelangkaan sumber daya ekonomi, ketidakadilan distribusi aset produktif, atau dominasi sumber-sumber finansial oleh golongan tertentu. Dalam kajian antropologi pembangunan, ada sebuah ungkapan terkenal: poverty is a state of willingness rather than scarcity. Di luar kendala struktural, masalah kemiskinan menyangkut sikap mental, pola perilaku, dan predisposisi yang berpangkal pada pola pikir berbangsa yang tak terintegrasi dengan spirit perubahan, kemajuan, dan peningkatan status serta kualitas kehidupan.

Oscar Lewis dalam Five Families: Mexican Case Studies in the Culture of Poverty (1959), menguraikan betapa orientasi nilai, pola hidup, dan cara berpikir orang miskin mencerminkan suatu kebudayaan kemiskinan. Karakteristik kebudayaan kemiskinan antara lain adalah (1) rendahnya semangat dan dorongan untuk meraih kemajuan, (2) lemahnya daya juang untuk mengubah kehidupan, (3) rendahnya motivasi bekerja keras, (4) tingginya tingkat kepasrahan pada nasib, (5) respons yang pasif dalam menghadapi kesulitan ekonomi, (6) lemahnya aspirasi untuk membangun kehidupan yang lebih baik, (7) cenderung mencari kepuasan sesaat (immediate gratification) dan berorientasi masa sekarang, dan (8) tidak berminat pada pendidikan formal yang berdimensi masa depan.

Yang ketiga adalah kemiskinan struktural, yaitu kemiskinan terstruktur yang disebabkan faktor-faktor buatan manusia, seperti distribusi aset produktif yang tak merata, kebijaksanaan ekonomi yang diskriminatif, korupsi dan kolusi, serta tatanan perekonomian dunia yang cenderung menguntungkan kelompok negara tertentu. Kemiskinan struktural amat erat kaitannya dengan kebijaksanaan pemerintah terkait pelaksanaan pembangunan ekonomi. Di Indonesia, kemiskinan semakin terstruktur dengan adanya pembangunan ekonomi terpusat yang tidak menyentuh daerah-daerah pe-desaan. Hal ini terlihat jelas dengan urbanisasi yang terus terjadi tiap tahun karena kesatuan persepsi yang menganggap sumber penghasilan hanya ada di ibu kota sebagai pusat pertumbuhan ekonomi.

Selain itu, budaya korupsi dan kolusi yang masih kental di lembaga-lembaga pemerintah semakin menggerogoti uang negara. Harapan menjadi negara kesatuan yang makmur dan sejahtera dengan limpahan sumber daya alamnya terkikis oleh perilaku para elit politik negara terkorup di Asean ini. Berbagai headline yang menghiasi surat kabar nasional pun tidak lepas dari pemberitaan terbongkarnya kasus-kasus korupsi. Lao Tzu mengatakan, Tidak ada bencana besar selain keinginan untuk menghambur-hamburkan, tidak ada dosa besar selain tidak dapat menahan diri, dan tidak ada malapetaka selain keserakahan.

Sayang beribu sayang, ternyata perilaku buruk para pejabat negara itu pulalah yang terus menambah jumlah masyarakat miskin di Indonesia. Budaya penguasa bangsa ini yang selalu menginginkan apa yang dimiliki orang, meniscayakan perilaku yang selalu bertujuan untuk memiliki apa yang tidak dimiliki ketimbang memelihara apa yang dimiliki. Keadaan itu disebut dengan mentalitas orang miskin atau poverty mentality (Zig Ziglar). Dalam rentang waktu yang tidak lama, mentalitas orang miskin itu akan membudidayakan manusia-manusia yang tamak dan loba.

Demikianlah tiga penyebab kemiskinan yang melanda Indonesia. Jadi, bila dihadapkan kembali pada pertanyaan awal, kita akan dapat segera menyelesaikan suatu masalah dengan memutus pangkal permasalahan tersebut. Namun, sangat disayangkan, upaya pengentasan kemiskinan dalam rencana aksi program 100 hari presiden SBY saat ini, hanya bersifat stimulan, seperti peningkatan pelayanan penduduk miskin dalam sistem jaminan kesehatan.

Berbagai upaya pengentasan kemiskinan di Indonesia tidak akan berarti tanpa menyentuh langsung akar penyebab kemiskinan kultural dan struktural yang telah lama menyelimuti bangsa ini. Oleh karena itu, menurut hemat penulis, tidak dibutuhkan waktu berabad lamanya untuk menghapuskan atau minimal mengurangi jumlah penduduk miskin Indonesia, bila pemerintah sebagai pengendali dan pemegang kebijakan, memahami dan menuntaskan akar permasalahan kemiskinan kultural dan struktural yang terjadi di negeri ini.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hati Berproses

Waktu bergulir begitu cepat seperti debu yang merambat. Sesekali dapat terlihat dari celah sinar mentari yang masuk ke rumah. Debu berterbangan bebas tanpa arah. Namun itu menurut kita. Seperti waktu, debu dihadirkan dengan takdirnya mengikuti arah angin yang membawanya. Bisa menempel di pohon-pohon, bisa menempel di celah bangunan pencakar langit, bisa juga mengendap di lorong dapur tempat ibu biasa memasak. Maka waktu, meski bukan sekumpulan zat organik yang terbang bebas di sekitar kita, ia adalah jatah yang kita miliki, jatah keluasan udara yang kita rasakan saat ini. Wahai sang pemilik waktu, izinkanlah aku hanya berdoa kepada-Mu. Wahai pemilik bulan november yang menakjubkan, ada seorang anak kecil yang sedang berproses disana. Sejak kecil ia adalah wanita yang pandai menjaga dirinya. Seorang yang suci dan tak mudah terdistraksi. Sikapnya yang bijaksana melapisi tubuh mungilnya. Proses menentukan hasil. Semoga jiwa besarnya mengantarkan ia ke level selanjutnya.

Setan

Kutulis ini setelah aku bercengkerama dengan setan. Tak ada kebohongan tersirat dari wajahnya. Dia berkata seolah tak pernah ada yang mendengarnya. "Dunia ini hanya tinggal sisanya saja," katanya. Antara ada dan tiada aku pun memercayainya. Sisa dari apa? Aku pun tak paham. Namun begitulah dia beserta sifatnya. Berusaha membisikkan kuping manusia dengan kejahatan, meski itu bukan suatu kebohongan. Ya, kejahatan memang sudah lama merasuk dalam setiap sendi kehidupan umat manusia. Bercokol dalam dusta setiap ruh yang memakmurkannya. Tak ada bisa, tahta pun jadi. Kursi kekuasaan mampu melegitimasi nasib lebih-lebih daripada bisa meluluhlantakkan kancil yang arif. Sudah lama cerita ini menggema. Berulang terus dalam beberapa kisah berbangsa dan bernegara. Bukan hanya di atas saja. Dampak kuasa itu terus menjalar ke aliran selokan-selokan di bawah jalan raya ibu kota. Pengemis berdasi bergelimpangan memenuhi zona kapitalisasi ekonomi yang tak pernah lagi sama. Tipu muslihat tel

Passing Through

Hampir setiap tiga bulan kita bisa lihat ada smartphone keluaran terbaru yang mengusung spesifikasi terbaik. Handphone yang ada di tangan kita saat ini bisa menyediakan hampir semua kebutuhan kita, dia menampilkan sejuta pesona, dia adalah layar kotak bersinar penuh kilau. Sebagian waktu kita bisa jadi lebih banyak dihabiskan di depan layar smartphone atau komputer. Tapi tahukah kamu bahwa waktu adalah salah satu modal terbesar kita untuk membuat diri kita menjadi apa kita inginkan. Misalnya, kita ingin jadi orang sejahtera yang terlihat dari mobil yang kita punya, kita ingin punya perusahaan yang mempekerjakan beberapa karyawan, kita ingin lulus cumlaude dari sebuah universitas dan dipanggil sebagai mahasiswa terbaik pada perayaan wisuda, dan seterusnya. The problem is: the most of us doesn't realize what we want to be. " Because we're living in a world of fools ," begitu kata band legendaris Bee Gees dalam salah satu lagunya. Apa saja yang bersinar di layar gadget