Hari ini saya sudah memutuskan untuk cerita, meski tidak semua bahagia. Mungkin cerita ini akan sulit diterima. Oleh orang yang terlalu banyak percaya hiburan yang melelahkan mata terutama. Tapi sudahlah, saya sudah memutuskan untuk cerita.
Semua tidak selalu terlihat semestinya. Sebagaimana harapan tak selalu ada atau pun mengada. Kita hanya mampu ucap “semestinya”. Tapi toh semua ada di bawah kuasa-Nya.
Sebagai anak SMA biasa saya belum begitu mengenal yang mana hari baik dan sebaliknya, karena saya pun tak soal itu. Memang kalau pagi terlihat biru cerah, saya bisa senyum sambil memandangi langit. Tapi kalau pun awan hitam bergulung-gulung, saya juga senyum dalam hati sambil melihat deras hujan dari balik jendela kamar, senang punya alasan pas bila sedang malas berangkat sekolah. Yang jelas ini pagi yang sama sekali berbeda. Langit cerah dan awan putih bersembulan, namun saya tak bisa tersenyum. Semua tidak selalu terlihat semestinya. Saya tidak bisa ikut ulangan hari ini. Tak ada ongkos untuk menuju sekolah yang cukup jauh.
Jendela kamar terlihat seperti bantal yang siap dipukul. Rasa kesal yang mengasap di kepalaku bias tak berwujud. Tak tahu harus kesal pada siapa. Tolong jangan Tanya kenapa. Karena saya pun tak mau. Yang jelas sekarang saya malu. Banyak malu memang tak buat kita jadi banyak tahu. Ya sudahlah. Yang penting saya sudah cerita. Daripada terlena oleh rasa kesal di kepala, lebih baik saya cerita. Berharap huruf ‘t’nya hilang dan berubah jadi ceria.
Semua tidak selalu terlihat semestinya. Sebagaimana harapan tak selalu ada atau pun mengada. Kita hanya mampu ucap “semestinya”. Tapi toh semua ada di bawah kuasa-Nya.
Sebagai anak SMA biasa saya belum begitu mengenal yang mana hari baik dan sebaliknya, karena saya pun tak soal itu. Memang kalau pagi terlihat biru cerah, saya bisa senyum sambil memandangi langit. Tapi kalau pun awan hitam bergulung-gulung, saya juga senyum dalam hati sambil melihat deras hujan dari balik jendela kamar, senang punya alasan pas bila sedang malas berangkat sekolah. Yang jelas ini pagi yang sama sekali berbeda. Langit cerah dan awan putih bersembulan, namun saya tak bisa tersenyum. Semua tidak selalu terlihat semestinya. Saya tidak bisa ikut ulangan hari ini. Tak ada ongkos untuk menuju sekolah yang cukup jauh.
Jendela kamar terlihat seperti bantal yang siap dipukul. Rasa kesal yang mengasap di kepalaku bias tak berwujud. Tak tahu harus kesal pada siapa. Tolong jangan Tanya kenapa. Karena saya pun tak mau. Yang jelas sekarang saya malu. Banyak malu memang tak buat kita jadi banyak tahu. Ya sudahlah. Yang penting saya sudah cerita. Daripada terlena oleh rasa kesal di kepala, lebih baik saya cerita. Berharap huruf ‘t’nya hilang dan berubah jadi ceria.
Komentar