Hari ini berjalan seperti hari lainnya. Husna harus sampai di kampus pukul setengah delapan. Untuk itu pada pukul empat yang gelap ia sudah bangun. Dan kini, di halte yang tidak sepi lagi ia hanya bisa sesekali menguap sambil menutup mulutnya. “Ah, datang juga akhirnya,” serunya ketika melihat bis mini berwarna ungu berhasil menembus lampu merah. “Diipuk! Diipuk! .... Ayo, ceepat ceepat. Depan ada Polisi iitu!” Husna segera menyanggul tasnya dan berlari, berusaha menaruh kaki kanannya di tangga masuk bis ungu bertuliskan: P.O. DEBORAH. Yang ikut masuk ternyata bukan hanya Husna, dua perempuan yang berpenampilan hampir sama dengannya, satu berjilbab menyerupainya dan satu lagi tidak, dengan aksesoris yang lebih lengkap di tangan kirinya, serta dua bapak-bapak, satu berpakaian kantor necis dan yang satu berpakaian PNS. Lima orang itu masuk, ikut berjejalan ke dalam bis yang sudah sesak itu.
Wangi sabun Husna tak bersisa lagi, kulit putihnya yang mulai ditumbuhi rambut-rambut kecil tegas mengeluarkan bulir-bulir keringat yang kini mulai membentuk bintik-bintik gelap di punggung bajunya. Ia harus semakin masuk ke dalam sesak penumpang yang berdiri saling berdempetan, karena dua orang yang sepertinya mahasiswa berhasil naik ke tangga masuk. Husna pun berusaha menggapai besi panjang di sisi kiri guna menahan tubuhnya tidak terdorong ke belakang ketika supir menginjak gas kencang-kencang, dan tidak terhimpit sesak bila bis berhenti tiba-tiba menurunkan penumpang. Akhirnya ia berhasil meraih ujung gagang itu.
Di tengah sesakan penumpang itu ia melihat ada yang beruntung bisa duduk di barisan kursi busa yang hampir lapuk dan kulitnya mulai mengelupas, namun banyak pula yang berdiri berdempetan sambil berpegangan pada gagang besi panjang yang tidak lagi terang. Mereka menikmati takdir itu sendiri-sendiri, yang duduk terus melihat ke kaca depan seolah di sekelilingnya sepi, yang berdiri memandang ke luar jendela seperti seminggu lagi akan bertemu ajal. Jendela-jendela geser dibiarkan terbuka meski bis sudah masuk tol, akibatnya salah satu tirai yang disampirkan di pinggir jendela berkibaran kencang seperti bendera Merah Putih yang mulai dinaikkan di halaman depan kampus Husna. Husna terlambat lagi.
Wangi sabun Husna tak bersisa lagi, kulit putihnya yang mulai ditumbuhi rambut-rambut kecil tegas mengeluarkan bulir-bulir keringat yang kini mulai membentuk bintik-bintik gelap di punggung bajunya. Ia harus semakin masuk ke dalam sesak penumpang yang berdiri saling berdempetan, karena dua orang yang sepertinya mahasiswa berhasil naik ke tangga masuk. Husna pun berusaha menggapai besi panjang di sisi kiri guna menahan tubuhnya tidak terdorong ke belakang ketika supir menginjak gas kencang-kencang, dan tidak terhimpit sesak bila bis berhenti tiba-tiba menurunkan penumpang. Akhirnya ia berhasil meraih ujung gagang itu.
Di tengah sesakan penumpang itu ia melihat ada yang beruntung bisa duduk di barisan kursi busa yang hampir lapuk dan kulitnya mulai mengelupas, namun banyak pula yang berdiri berdempetan sambil berpegangan pada gagang besi panjang yang tidak lagi terang. Mereka menikmati takdir itu sendiri-sendiri, yang duduk terus melihat ke kaca depan seolah di sekelilingnya sepi, yang berdiri memandang ke luar jendela seperti seminggu lagi akan bertemu ajal. Jendela-jendela geser dibiarkan terbuka meski bis sudah masuk tol, akibatnya salah satu tirai yang disampirkan di pinggir jendela berkibaran kencang seperti bendera Merah Putih yang mulai dinaikkan di halaman depan kampus Husna. Husna terlambat lagi.
Komentar