Pada suatu sore, ketika keluar dari suprermal karawaci saya harus berjalan pelan di belakang dua orang (berbusana) wanita. Satu yang sebelah kanan mengenakan rok mini yang jelas tidak seksi, karena dibawah rokmini itu terpampang kaki yang kekar dengan bulu kaki yang dicukur asal. Sebelah kirinya memakai bluejeans ekstra ketat mmerlihatkan pinggulnya yang seksi. Namun lihatlah tumit yang memakai wedges itu: gelap berdaki. Oh my God. I'm so sorry. Saya sungguh tidak berniat menhina siapa pun!
Pemandangan yang tak wajar ini menarik untuk dipahami. Bagaimana seorang, oh mungkin dua orang, yang memiliki orientasi seksual berbeda merasa perlu menunjukkan statusnya di depan publik. Bahkan mungkin ada juga anak kecil yang melihat dan bertanya, "Mah, itu cewek atau cowok yah?" Sang Ibu yang hanya biasa menonton 'Mamah Dedeh' dan 'Cinta Fitri' pun bingung menjawabnya.
Menarik untuk melihat definisi dan keterangan tentang kaum biseksual ini dari berbagai sumber. Wikipedia misalnya, menulis bahwa biseksual adalah suatu orientasi seksual antara homoseksual dan heteroseksual, dan itu bukanlah penyakit. Saya tidak terlalu tertarik untuk mengkajinya lebih dalam. Sudah banyak paper sosbud yang memelajari hal ini. Namun dalam aspek praksis yang kita lihat saat ini. Bagaimana budaya modern kini semakin memicu kalangan yang 'berbeda' itu untuk semakin yakin tentang identitasnya yang tidak 'salah.'
Bila berbicara betul-salah tentu saya bukan tuhan yang MahaTahu. Salah dan betul hanya saya (dan anak-anak lainnya) ketahui dari kitab, buku, keluarga, televisi, dan lingkungan sekitar yang membentuk suatu konstruksi sosial. Lantas, dimana keberadaan kalangan 'berbeda' itu dalam konstruksi sosial kita saat ini?
Jawabannya tentu sekaligus menjelaskan mengapa saya lebih memilih kata 'berbeda' daripada biseksual. Sebagai mahluk yang lahir karena sesuai fitrah dari-Nya, kita tentu tak pernah berharap memiliki keturunan yang mengalami disorientasi jiwa semacam itu. Namun pada akhirnya selalu ada kesimpulan inklusif yang kita capai tentang perbedaan ini. Itu karena fitrah Tuhan bersifat universal dan abadi. Pembelaan destruktif yang melahirkan pemahaman baru tentang hal ini akan selalu ada. Dan itu tak lain adalah sebuah bentuk pertahanan subjektif yang ingin memperbanyak jumlah mereka.
Komentar