Pagi dan mentari membuat keindahan
alam terepresentasi dengan tepat. Namun sejak awal tahun hingga hari ini
kombinasi keduanya sering terganggu. Awal pagi yang cerah menjadi harapan di
setiap hari weekday agar bisa berangkat ke kantor atau sekolah dengan normal. Itulah
sisi gelap awal tahun ini. Tak terasa dan tak ada yang mau ngitung juga sudah
berapa hari yang lalu saya lulus SMA. Mengingat masa penuh keceriaan tidaklah
sulit. Dimana kita bertemu dengan banyak teman yang menemani kita tumbuh
berkembang. Ketika anak perempuan SMP yang cupu berangkat jadi kupu-kupu. Ketika
remaja lelaki SMP yang polos berangkat menjadi bos (parkiran). Masa metamorfosis
itu sering kita sebut masa puber. Ya, puberitas adalah perubahan fisik personal
menjadi dewasa. Itu hanyalah perubahan fisik semata. Ada yang lebih dari itu. Pertemuan
dengan teman canda dan tawa di masa SMA menjadi sesuatu yang menarik untuk
diulang.
Kemarin gue main ke kostan salah
satu teman SMA yang kuliah di UIN, Ciputat. Di sana sudah ada teman SMA gue yang
lain, mereka datang dari Yogyakarta dan Purwokerto. Pas gue datang, pukul
sepuluh pagi, kedua teman gue itu masih tidur. Abis dugem katanya, di bilangan
Kemang. Lalu pas gue ke kamar mandi, di belakang ada sebotol bekas bir hitam. “Waw,”
gue bilang dalam hati. Dan ketika mereka bangun gue masih nonton tv dengan
saluran tv yang abis mereka tonton. “Haha,” minumnya bir hitam, rokok SamSoe,
eh nontonnya infotainment juga. Teman gue sang penghuni kostan malah semangat
mengomentari soal Raffi Ahmad yang membela diri lewat pengacaranya. Itu kan
sama aja kayak lelaki berbadan kekar yang tatoan, dengan jaket jeans yang dirobek
lengannya, bertampang seperti polisi India, lalu sambil megang helm cetok dia
bilang ke ibu-ibu yang lewat, “Ayuk, ojeknya Bu.”
Pukul satu siang salah satu teman
saya yang kuliah semester akhir di UNSOED bangun dan menjalankan shalat zuhur. Alhamdulillah,
masih inget shalat dia. Seusai shalat teman gue yang bernama Moko ini mengambil
sebatang SamSoe lalu menyulutnya. “Ajib,” macam kiyai sepuh dari Jawa Timur
saja teman gue yang satu ini. Kemudian Gani, sang penghuni kostan ingin
menonton film Loopers yang baru saja didownloadnya di kampus. Moko pun nimbrung
tak mau ketinggalan. Setelah sepuluh menit film dimulai Moko mulai bertanya
ini-itu, seperti: “Eh, ini kan yang main di film itu ya? Apa namanya?..,” “Lah,
ini bukannya yang tadi?” Dan Gani si pemilik laptop menjawab seadanya: “Ya.., Heeh..,
Mmmh...” Gani dan gue sama-sama memahami perilaku dasar Moko ketika nonton
film. Dan itu sudah berlangsung sejak lima tahun lalu, ketika kami masih SMA. Gue
ga bisa bayangin ketika dia nonton di bioskop dengan pacarnya, apakah dia juga
melakukan hal yang sama? Itulah beberapa teman gue.
Tetapi Moko tidak berhenti sampai
di situ. Setelah film usai dan kami bertiga terkesan oleh ending dari filmnya,
Moko kembali eksentrik. Sambil melipat sarung, Moko menoyor kepala gue sambil
memeragakan pemain basket, “Slam dunk!” Gue yang lagi merhatiin daftar film di
laptop bingung harus bertindak apa. “Wey Mok, lu kesurupan lagi ya?” Bukannya
insaf mendengar ucapan gue, dia malah makin autis. “Woy, anak setan!” Gue
bilang begitu sambil berharap orangtuanya gak denger. Dulu ketika SMA, Moko
memang selalu eksentrik setiap ketemu gue. Tapi ga tau, kayaknya setiap ketemu
gue aja dia kayak gitu. Namun sifatnya yang penuh tawa itu pula yang membuatnya
memiliki banyak teman.
Dalam film Loopers, Bruce Willice
berperan apik. Menjadi seorang looper yang hidup sebagai mafia sampai tua, ia
mengingat hal-hal yang telah dilalui. Dan ketika ia ditangkap untuk kembali
lagi ke 30 tahun sebelumnya dengan mesin waktu (untuk dibunuh), ia berusaha
memperbaiki masa lalunya agar takdir yang ia sudah tahu lewat ingatannya
berakhir dengan lebih baik. Itulah film. Pengandaian muncul ketika kita selesai
menonton sebuah film. Namun inilah hidup yang nyata. Kita selalu mengahadapi
apa yang ada di depan tanpa harus tahu sebelumnya. Setidaknya, seberapa keras
realitas yang gue hadapi, gue agak senang karena punya teman yang juga masih bisa
menjaga keakuan dirinya. Dan dengan itu gue bercermin. Apakah gue masih sama
dengan gue yang dulu? Tentu jawabannya tidak setegas garis bayangan saat fajar.
Yang pasti gue melihat teman-teman
gue itu masih menyimpan sifatnya yang lama, meski fisik dan penampilan mereka berubah. Katanya, segala sesuatu di
dunia ini pasti mengalami perubahan. Ya, benar. Dari yang dulu suka main
becek-becekan, sekarang setelah numbuh kumis mulai suka main di genangan air. Perubahan
fisik selalu kita ketahui lewat cermin. Perubahan jiwa kita sadari dari
bertambahnya masalah dan tanggung jawab yang kita hadapi. Namun sifat dan sikap
adalah satu hal berbeda yang kita tentukan sendiri untuk menjalani hidup ini. Dan
sekali kita memilihnya, ia akan lama melekat dan merepresentasikan siapa kita. Have
a good day, guys!
Komentar