Langsung ke konten utama

Barista


Selamat pagi. Gue gak tau juga sih pas kalian baca ini lagi pagi atau malam. Yang jelas kata guru gue dulu sapaan “Selamat pagi” efektif untuk menyalurkan energi positif yang mencerahkan. Tapi masalahnya gue/guru gue gak tau sapaan itu juga berlaku untuk orang yang baru bangun jam 12 atau enggak. Begini, akhir-akhir ini gue benci sama satu kosakata yang sering menggaung di antara teman-teman gue: galau. Apa ya kata selain itu? Resah, gelisah, gamang, bimbang, Bambang? Oh maaf, yang terakhir itu nama temen gue. Semua sinonimnya terdengar negatif. Dan sekarang gue juga ikutan.
Ya, gue galau karena hingga kini belum bisa menelurkan satu pun cerpen. Satu telur puyuh pun juga belum. Cerpen itu suatu karya seni yang dulu pernah gue minati. Memang sih, minat ini hanya berangkat dari mata kuliah Penulisan yang dulu pernah gue dapat. Dari ucapannya yang meyakinkan, dosen Penulisan yang juga senior editor di Kompas Gramedia itu memiliki daya magnet tersendiri untuk membangun passion dalam diri gue untuk menulis. Ada satu hal membanggakan yang pernah gue raih dalam mata kuliah itu. Karya tulis berbentuk opini yang gue tulis untuk menyindir dosen korup dibawa ke rapat bulanan para dosen. Itu menjadi sebuah nilai positif tersendiri buat gue. Dari situ passion gue mulai terbangun. Sampai pada semester selanjutnya, mata kuliah Penulisan memasuki tahap Sastra. Saat itu gue menelurkan beberapa cerpen, tapi masih lembek-benyek gitu, belum bagus. Hingga saat ini. Ya, sampai sekarang gue belum bisa menelurkan satu cerpen yang (setidaknya menurut gue) berkualitas. Mungkin gue harus banyak-banyak minum Vitamin C kali yah.

Menulis itu kelihatannya sederhana loh. Tapi gak sesimpel yang dilihat. Karena lewat karya sastra yang bagus seorang penulis dapat menginspirasi pembacanya. Ga percaya? Buktinya adalah gue. Karena cerpen karya Dee yang berjudul “Filosofi Kopi” saat ini gue bangga berprofesi sebagai barista. Lewat cerpen tersebut Dee menceritakan kehebatan seorang barista. Keutamaan dan keunikannya. Dee mampu mengupas sisi jiwa seorang barista. Dan dengan karyanya itu Dee berhasil menginspirasi gue untuk jadi seorang barista. Dari antologi cerpen dan prosa berjudul “Filosofi Kopi” itu pula minat lama gue untuk menulis kembali menyembul. Mudah-mudahan dengan tulisan sederhana ini gue bisa kembali belajar menyalurkan ide sehari-hari yang unik. Aamin. *ngusapmuka

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hati Berproses

Waktu bergulir begitu cepat seperti debu yang merambat. Sesekali dapat terlihat dari celah sinar mentari yang masuk ke rumah. Debu berterbangan bebas tanpa arah. Namun itu menurut kita. Seperti waktu, debu dihadirkan dengan takdirnya mengikuti arah angin yang membawanya. Bisa menempel di pohon-pohon, bisa menempel di celah bangunan pencakar langit, bisa juga mengendap di lorong dapur tempat ibu biasa memasak. Maka waktu, meski bukan sekumpulan zat organik yang terbang bebas di sekitar kita, ia adalah jatah yang kita miliki, jatah keluasan udara yang kita rasakan saat ini. Wahai sang pemilik waktu, izinkanlah aku hanya berdoa kepada-Mu. Wahai pemilik bulan november yang menakjubkan, ada seorang anak kecil yang sedang berproses disana. Sejak kecil ia adalah wanita yang pandai menjaga dirinya. Seorang yang suci dan tak mudah terdistraksi. Sikapnya yang bijaksana melapisi tubuh mungilnya. Proses menentukan hasil. Semoga jiwa besarnya mengantarkan ia ke level selanjutnya.

Setan

Kutulis ini setelah aku bercengkerama dengan setan. Tak ada kebohongan tersirat dari wajahnya. Dia berkata seolah tak pernah ada yang mendengarnya. "Dunia ini hanya tinggal sisanya saja," katanya. Antara ada dan tiada aku pun memercayainya. Sisa dari apa? Aku pun tak paham. Namun begitulah dia beserta sifatnya. Berusaha membisikkan kuping manusia dengan kejahatan, meski itu bukan suatu kebohongan. Ya, kejahatan memang sudah lama merasuk dalam setiap sendi kehidupan umat manusia. Bercokol dalam dusta setiap ruh yang memakmurkannya. Tak ada bisa, tahta pun jadi. Kursi kekuasaan mampu melegitimasi nasib lebih-lebih daripada bisa meluluhlantakkan kancil yang arif. Sudah lama cerita ini menggema. Berulang terus dalam beberapa kisah berbangsa dan bernegara. Bukan hanya di atas saja. Dampak kuasa itu terus menjalar ke aliran selokan-selokan di bawah jalan raya ibu kota. Pengemis berdasi bergelimpangan memenuhi zona kapitalisasi ekonomi yang tak pernah lagi sama. Tipu muslihat tel

Passing Through

Hampir setiap tiga bulan kita bisa lihat ada smartphone keluaran terbaru yang mengusung spesifikasi terbaik. Handphone yang ada di tangan kita saat ini bisa menyediakan hampir semua kebutuhan kita, dia menampilkan sejuta pesona, dia adalah layar kotak bersinar penuh kilau. Sebagian waktu kita bisa jadi lebih banyak dihabiskan di depan layar smartphone atau komputer. Tapi tahukah kamu bahwa waktu adalah salah satu modal terbesar kita untuk membuat diri kita menjadi apa kita inginkan. Misalnya, kita ingin jadi orang sejahtera yang terlihat dari mobil yang kita punya, kita ingin punya perusahaan yang mempekerjakan beberapa karyawan, kita ingin lulus cumlaude dari sebuah universitas dan dipanggil sebagai mahasiswa terbaik pada perayaan wisuda, dan seterusnya. The problem is: the most of us doesn't realize what we want to be. " Because we're living in a world of fools ," begitu kata band legendaris Bee Gees dalam salah satu lagunya. Apa saja yang bersinar di layar gadget