Langsung ke konten utama

Modern


Menulis dan melukis sepertinya memiliki satu persamaan: mencoba mengisi lembaran yang kosong. Dimensi yang sama (selembar kertas/kanvas putih) diupayakan untuk menjadi hasil yang dapat dinikmati. Baik itu dengan karya seni visual ataupun karya sastra yang menggugah. Kali ini aku bukan hendak mengisi tulisan layaknya pelukis memuas karyanya. Hanya seperti yang lainnya; menuang gagasan. Layaknya menuang satu shot espresso ke dalam cangkir berisi susu putih.
Dimulai dari sebuah film yang menginspirasiku untuk kembali menemukan sesuatu yang dulu aku senangi: menulis. Aku menyukai kegiatan ini karena dengan ini isi dalam kepala bisa tergambar, setidaknya tereprentasi, sebaik apa kualitas isi kepala kita. Ini dimulai dari mata kuliah Menulis yang kumulai pada masa kuliah yang dulu belum kurampungkan. Sensasi terbesar yang jelas terasa adalah ketika hasil akhir tulisanku mendapat apresiasi yang mencukupi – seperti senangnya adikku mendapat sepeda sebagai apresiasi Ibu atas kenaikan kelasnya.
Bila paru-paru kita adalah dua buah tabung stainless steel pastilah kita akan terus merawat kebersihannya tanpa perlu diingatkan. Dan jika itu nyata, tak ada salahnya juga merawat isi kepala kita. Ini bukan tentang bagaimana kita harus menjaga isi kepala agar tetap utuh. Tapi bagaimana pentingnya mengklasifikasi apa yang baik dan buruk dalam kepala. Tanpa sadar, zaman ini menawarkan beragam bentuk media yang kita nikmati setiap harinya. Tanpa harus sadar pula kenikmatan itu menggiring pola pikir kita sebagai manusia ‘modern’ yang diharapkan. Kita sering mendengar bahwa batas antara dewasa dan anak-anak adalah mengetahui apa yang baik dan buruk bagi dirinya. Namun sekarang ini baik dan buruk tidak lagi menjadi batas, tidak lagi penting. Lihatlah Ibu-ibu berpakaian minim yang berseliweran di pusat perbelanjaan. Batas baik dan buruk sudah menjadi samar dan tak lagi penting. Ibu yang berpakaian minim tadi ternyata sedang menggandeng tangan anak perempuannya yang juga dipakaikan baju minim. 
Aku tidak sedang menerangkan ini adalah contoh yang buruk. Tentu Ibu tersebut punya cukup alasan untuk menilai pilihannya tidaklah buruk, justru ‘keren,’ ‘modern.’  Media-media yang kita nikmati sehari-hari memberikan kita pemahaman, menawarkan yang modern adalah yang ‘keren.’ Pemahaman yang dapat menggring pola pikir konsumsi (baca: iklan). Pada awalnya memang hanya bertujuan menggerakkan pola pikir konsumsi, tapi lihatlah hari ini: iklan coklat atau eskrim yang dibintangi oleh model-model yang ‘keren.’ Akibatnya setiap keluarga memiliki pemahamannya sendiri tentang apa yang baik, yang ‘keren,’ dan yang lainnya. Aku jadi baru sadar tingginya mobilitas peradaban bangsa ini lewat besarnya aspek dunia periklanan. Ini satu contoh masyarakat kita.
Sebenarnya kali ini aku kembali tergugah untuk menulis karena ingin menceritakan sedikit sisi batinku yang sedang gelisah. Keluargaku. Meski hampir tujuh tahun aku menempuh SMP-SMA di boarding school, terpisah cukup jauh dan hanya pulang setahun dua kali, ikatan batinku dengan keluarga yang membesarkanku cukuplah erat, dan kini bahtera ini sedang oleng. Layaknya kapal feri yang kehabisan bahan bakar di tengah samudra. Baling-baling yang harus mendorongnya dari belakang hanya berputar perlahan sekali-dua kali.  Aku hanya dapat berdoa mudah-mudahan ini adalah sebuah badai hujan yang akan segera reda. Matahari selalu bersinar meski di balik awan tebal yang gelap, dan yang kita lihat hanyalah sayatan halilintar dan kencangnya hujan. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hati Berproses

Waktu bergulir begitu cepat seperti debu yang merambat. Sesekali dapat terlihat dari celah sinar mentari yang masuk ke rumah. Debu berterbangan bebas tanpa arah. Namun itu menurut kita. Seperti waktu, debu dihadirkan dengan takdirnya mengikuti arah angin yang membawanya. Bisa menempel di pohon-pohon, bisa menempel di celah bangunan pencakar langit, bisa juga mengendap di lorong dapur tempat ibu biasa memasak. Maka waktu, meski bukan sekumpulan zat organik yang terbang bebas di sekitar kita, ia adalah jatah yang kita miliki, jatah keluasan udara yang kita rasakan saat ini. Wahai sang pemilik waktu, izinkanlah aku hanya berdoa kepada-Mu. Wahai pemilik bulan november yang menakjubkan, ada seorang anak kecil yang sedang berproses disana. Sejak kecil ia adalah wanita yang pandai menjaga dirinya. Seorang yang suci dan tak mudah terdistraksi. Sikapnya yang bijaksana melapisi tubuh mungilnya. Proses menentukan hasil. Semoga jiwa besarnya mengantarkan ia ke level selanjutnya.

Setan

Kutulis ini setelah aku bercengkerama dengan setan. Tak ada kebohongan tersirat dari wajahnya. Dia berkata seolah tak pernah ada yang mendengarnya. "Dunia ini hanya tinggal sisanya saja," katanya. Antara ada dan tiada aku pun memercayainya. Sisa dari apa? Aku pun tak paham. Namun begitulah dia beserta sifatnya. Berusaha membisikkan kuping manusia dengan kejahatan, meski itu bukan suatu kebohongan. Ya, kejahatan memang sudah lama merasuk dalam setiap sendi kehidupan umat manusia. Bercokol dalam dusta setiap ruh yang memakmurkannya. Tak ada bisa, tahta pun jadi. Kursi kekuasaan mampu melegitimasi nasib lebih-lebih daripada bisa meluluhlantakkan kancil yang arif. Sudah lama cerita ini menggema. Berulang terus dalam beberapa kisah berbangsa dan bernegara. Bukan hanya di atas saja. Dampak kuasa itu terus menjalar ke aliran selokan-selokan di bawah jalan raya ibu kota. Pengemis berdasi bergelimpangan memenuhi zona kapitalisasi ekonomi yang tak pernah lagi sama. Tipu muslihat tel

Passing Through

Hampir setiap tiga bulan kita bisa lihat ada smartphone keluaran terbaru yang mengusung spesifikasi terbaik. Handphone yang ada di tangan kita saat ini bisa menyediakan hampir semua kebutuhan kita, dia menampilkan sejuta pesona, dia adalah layar kotak bersinar penuh kilau. Sebagian waktu kita bisa jadi lebih banyak dihabiskan di depan layar smartphone atau komputer. Tapi tahukah kamu bahwa waktu adalah salah satu modal terbesar kita untuk membuat diri kita menjadi apa kita inginkan. Misalnya, kita ingin jadi orang sejahtera yang terlihat dari mobil yang kita punya, kita ingin punya perusahaan yang mempekerjakan beberapa karyawan, kita ingin lulus cumlaude dari sebuah universitas dan dipanggil sebagai mahasiswa terbaik pada perayaan wisuda, dan seterusnya. The problem is: the most of us doesn't realize what we want to be. " Because we're living in a world of fools ," begitu kata band legendaris Bee Gees dalam salah satu lagunya. Apa saja yang bersinar di layar gadget