Entah karena sebab apa atau
siapa, saat ini kita sering mendengar banyak kata “galau.” Di twitter,
facebook, di tempat umum, atau pun di jalan. Tanpa perlu tahu apa artinya, kita
senang menyebutkannya untuk mengungkapkan kondisi hati yang (sebut saja) sedang
kasmaran. Padahal kalau kita lihat di KBBI, galau itu artinya: ramai sekali;
kacau tidak keruan. Dengan definisi tersebut, guru TK lah yang lebih layak
berkata, “Lagi galau, nih.” Iya kan? Ketika di dalam WC sekolahan ada seorang pelajar
yang bilang sama temennya, “Duh, galau bener nih,” itu bisa berarti banyak; dia
lihat kotoran yang belum disiram ‘ramai sekali’ atau rambutnya memang sedang ‘kacau
tidak keruan.’
Kata tersebut sudah begitu akrab
di telinga masyarakat urban masa kini. Kalau dilihat-lihat, asal mulanya
sebenarnya ga terlalu jauh dari kehidupan sehari-hari: media hiburan. Karena lebih
suka menghabiskan banyak waktu kosong di depan televisi, tanpa sadar kita
selalu percaya terhadap nilai-nilai yang disampaikan beragam acara hiburan. Misalnya,
dari sebuah film Hollywood kita melihat sang aktor yang keren dan super cakep memiliki
kebiasaan begadang, ngerokok, dan minum kopi. Lalu kita mengambil kesimpulan
sepintas bahwa itu adalah hal keren untuk dilakukan, maka kita akan
mengikutinya, dan tak butuh waktu lama kebiasaan itu membawa satu-satunya dampak
positif: akrab dengan tukang ojek karena sering begadang bareng.
Banyak hal yang teracuhkan
ketika kita melakukan hal rekreatif di depan televisi. Selama para actor dan
alur cerita dapat membuat tertawa, itu sudah bagus – dan cukup layak ditiru. Cukup
banyak surga dunia yang hanya terjadi di kotak digital bernama televisi.
Soal cinta misalnya. Salah satu
adegan yang membuat kita percaya indahnya jatuh cinta misalnya, ketika si cewek
turun tangga dan si cowok mau naik dari arah berlawanan. Entah karena ngelamun
atau apa si cowok nabrak si cewek yang sedang bawa buku dan setumpuk kertas. Si
cowok mau bantu mengambilkan buku yang jatuh tapi ternyata udah keduluan si
cewek. Dalam jongkoknya mereka bersitatap cukup lama dengan diiringi musik mellow
yang menggugah (kucing untuk kawin lagi). Dan ketika berdiri, mereka saling
senyum setengah mules, lalu akhirnya mereka kenalan, tukeran nomer PIN BB, dan
bermesraan. Sesimpel itu mereka bertemu dan jatuh cinta – setelah beruntung
tidak jatuh dari tangga. Sayangnya itu hanya ada di TV. Pada dunia nyata, yang
akan kita temukan adalah kejadian seperti ini: ketika seorang cowok menabrak
cewek cantik di tangga tanpa sengaja, si cewek akan berkata, “Punya mata gak
sih, mas? Liat-liat dong kalo jalan!” Lalu akhirnya si cowok tak berkata
apa-apa kecuali, “Oh iya, sorry.”
Secara umum, masyarakat bawah
hingga atas sudah memiliki televisi di rumahnya (ya, kan?). Dari yang masih
jomblo sampai yang sudah jompo menikmati betul sarana hiburan dan informasi
ini. Namun lihatlah, di balik acaranya yang menarik, latah meniru bermacam
adegan di dalamnya seperti anak kecil bukan pilihan yang baik. Balik lagi
kejudul tulisan ini. Kenapa gue bisa bilang asalmula trend kata galau adalah
dari televisi. Sebenernya vonis gue itu masih abu-abu, belum ada data yang
mendukung. Tapi kalau kita lihat, banyaknya kata-frasa-kalimat yang jadi trend
teman-teman di sekitar kita berasal dari satu-dua film atau sinetron
membuktikan televisi sebagai media penyebar arus utama di kalang muda saat ini.
Biar enggak bingung, gue tempel sedikit definisi tentang fenomena ini: Televisi adalah bagian dari “prakondisi dan konstruksi
selektif pengetahuan sosial, pembayangan sosial, yang digunakan untuk
memersepsi ‘dunia-dunia’,’realitas’ kehidupan orang lain, dan secara imajiner
merekonstruksi hidup kita dan mereka menjadi semacam ‘keseluruhan dunia’ (‘world
of the whole’) yang masuk akal bagi kita” (Hall dalam Chris Barker, 2005 : 341).
Malah jadi bingung ya?
Dalam sebuah makalah psikologi
yang mengkaji dampak televisi, ada sedikit nukilan yang mungkin akan
memerjelas: Dwyer menjelaskan bahwa sebagai media audio-visual, televise mampu
merebut 94% masuknya informasi ke dalam jiwa manusia, yaitu lewat mata dan
telinga. Televisi mampu untuk membuat orang pada umumnya mengingat 50% dari apa
yang mereka lihat dan dengar di televisi, walaupun hanya sekali ditayangkan. Secara
umum orang akan ingat 85% dari apa yang mereka lihat di televisi setelah 3 jam
kemudian dan 65% setelah 3 hari kemudian. Is it clear?
Pada dasarnya perilaku kita
diawali dengan proses interaksi sosial kita dengan lingkungan. Bagaimana kita
bersikap memengaruhi penerimaan lingkungan. Karena sebab itu pula, sebagai
haluan non-konservatif kita kerap meniru hal baru untuk ditularkan pada
lingkungan. Fenomena ini kita rasakan wajar terjadi dalam kehidupan
sehari-hari, dan memang sebaiknya begitu. Yang tidak baik adalah selalu merasa
galau, gamang, bingung, dan bimbang tanpa sebab yang jelas. Jadilah muda-mudi
yang produktif. Tidak mudah tertarik pada aib orang dan hal-hal tak penting. Jangan
kayak gue yang menyelesaikan artikel ini dalam waktu setengah hari. No galau. No
cincau. Gong xi fat chau.
Komentar