Angin pagi
meluruhkan gelap malam. Cahaya mentari menyapa guratan awan halus, menghias
langit yang tak bertepi. Pagi itu Komar (sebut saja begitu) terbangun dari
tidurnya lantaran dingin. Bukan hanya hari ini. Hampir tiap hari dia terbangun
oleh dingin. Dingin yang tak terelakkan karena memang Komar hanya tidur
beralaskan koran dan ditutupi kain lusuh yang tipis. Tolong jangan tanya tempatnya
tidur. Karena hanya akan ada dua pilihan: di emperan depan toko atau di
gerobaknya sendiri. Bila harus tidur di atas gerobaknya maka dia akan tidur
meringkuk sampai cahaya mentari dan suara bising kendaraan bermotor
membangunkannya. Setelah terjaga, tanpa harus cuci muka lebih dulu, Komar bisa
langsung menyeret gerobaknya menyisiri jalan guna mendapat setumpuk barang
rongsokan yang dapat ditukar dengan beberapa Rupiah saja.
Pemandangan tersebut
bisa jadi hanyalah cerita fiksi belaka. Namun setidaknya saya telah melihat
objek yang serupa ketika pagi-pagi berangkat kerja lewat pasar Ciputat. Matahari
masih rendah dan menyilaukan, riuh rendah suara barisan motor dan mobil
memenuhi jalan raya pasar Ciputat. Saat belok di persimpangan, saya melihat seorang
anak masih tidur pulas di atas gerobak yang penuh kardus bekas. Beberapa temannya
juga pulas di depan sebuah toko sepatu yang belum buka. Miris saya melihatnya. Itulah
sisi lain (pinggiran) Ibukota Jakarta.
Dengan sekali
lirik kita dapat melihat betapa kurang beruntungnya mereka. Tidak punya tempat
tinggal, tidak punya angan tentang menu makan malam, apalagi pekerjaan. Jika bisa
memilih, mungkin satu-satunya pekerjaan profesional mereka adalah menariki
ongkos penumpang biskota; menjadi kondektur. Boleh saja kita menyalahkan Komar
karena dia sendirilah yang datang ke Ibukota tanpa modal apa-apa. Sah saja bila
kita melihat kapitalisme yang merajai ekonomi Ibukota sebagai biang keladinya. Namun
mari kita lihat dari sisi yang paling dasar: kita lebih beruntung dari Komar.
Dengan begitu, sepertinya
kita perlu bersyukur telah mendapat hidup yang layak, bisa duduk tenang di
depan layar komputer, dan berangan nanti mau sahur/buka puasa dengan lauk apa. Bulan
Ramadan ini sebentar lagi akan lewat meninggalkan kita. Mungkin ada yang
bertanya, kenapa tulisan ini berujung dengan bulan Ramadan? Karena satu yang
harus kita ketahui tentang makna ekstrinsik ibadah puasa ini. Lapar dan dahaga
yang kita rasakan dari pagi hingga menjelang malam merupakan sebentuk simulasi
bagaimana para fakir miskin menjalani kehidupan mereka. Hidup yang sarat dengan
kesabaran. Tanpa harus menilai taraf hidup siapa-siapa, dengan ibadah puasa ini
diharapkan kita mampu turut merasakan kehidupan saudara kita yang kurang mampu.
Ramadan bulan yang begitu istimewa dan mulia. Dengan hati yang terang dan pikiran
yang positif, tak ada kata telat untuk memulai sesuatu yang baik. Semoga bulan
yang penuh berkah ini menjadi momen yang indah bagi kita semua.
Komentar