Semifinal Jerman melawan Italia beberapa hari yang lalu menjadi tontonan paling menarik bagi gue pada gelaran piala Eropa 2012 kemarin. Bukan karena pada laga itu, tim yang gue jagokan kalah dengan menyakitkan. Bukan pula karena bola itu bundar – ungkapan klise untuk mengatakan kalah dan menang itu sudah biasa. Laga tersebut berlangsung seru. Gue yang biasa nonton sendiri (karena yang lain udah pada tepar) di ruang tengah, kali ini ditemani adek gue yang malem itu tumben masih bangun.
Babak pertama berjalan dengan seru. Jerman tertinggal 1-0 dan gue optimis Jerman masih bisa menang. Babak kedua menjadi pertandingan yang menegangkan karena tim Der Panzer mengepung baris pertahanan Italia. Namun ternyata Joachim Loew salah memerkirakan kekuatan lini tengah timnas Italia. Passing-passing pendek dalam penguasaan bola Jerman berhasil dipatahkan oleh Andrea Pirlo dan langsung thru-pass lambung ke arah striker. Mario Balotelli yang memang berpostur tinggi besar sigap menerima bola, menggiring bola ke sisi kanan kotak gawang Jerman dengan hanya dikawal bek kiri Philip Lahm – yang berarti tidak menyisakan satu pun bek tengah di jantung pertahanan. Striker kelahiran Ghana itu menendang bola dengan keras, bola meliuk dengan cepat ke sudut kiri atas gawang dan tak berhasil diantisipasi Manuel Neuer. Jarum jam menunjukkan pukul tiga dinihari dan gue semakin ngantuk melihat skor 2-0 di televisi. Tampaknya pelatih Joachim Loew merancang strategi yang kurang tepat dan salah mengekspektasi lini tengah – central midfielder Italia. Perhitungannya meleset. Kenapa gue bisa bilang begitu? Karena Jerman yang biasa bermain rapih dan enak ditonton dengan penguasaan bola dan crossing yang menawan kali ini bermain terlalu tergesa, seakan ingin mengincar gol secepatnya. Mats Hummels yang selalu ikut menusuk ke depan dan Badstubber yang maju kelini tengah membuat baris pertahanan Jerman hanya menyisakan bek kiri dan kiper. Counter attack pun mimpi buruk yang menjadi nyata.
Lalu karena lapar menyerang, gue pun makan nasi dengan lauk telor dadar pada pukul setengah empat, ketika Mesut Ozil berhasil menceploskan bola dari titik putih. Selesai makan, maka respon normal otak gue adalah mencari minum. Ketika gue lihat teko di atas meja makan kosong dan menemukan panci berisi air bening di dapur, tanpa banyak cincong dua gelas berhasil menghapus dahaga. Tak berapa lama, nyokap gue bangun. Dan gue tanya, “Bu, aer yang di panci belakang itu mateng kan?” Setengah melek nyokap gue menjawab, “Iya mateng. Eh mentah. Airnya masih mentah itu. Tadi kan gasnya abis. Jadi belom sempat dimasak tuh air. Dalam hati, gue pun berseru: terima kasih Ibu! Malam itu gue sukses meneguk dua gelas air mentah dalam panci yang gue kira adalah air mateng. Sampai di sini gue melihat ada kesamaan perkara antara gue dan Joachim Loew. Ia sebagai pelatih timnas Jerman salah mendefinisikan kekuatan musuh, dan gue yang salah mempersepsikan isi panci yang biasa digunakan untuk masak air. Jerman kalah 2-1 dan gue salah minum dua gelas air yang belum mateng. Thanks God. Meski malam itu Jerman kalah bukan karena ada sedikit kesamaan gue dengan sang pelatih, semoga di masa mendatang gue bisa menjadi seseorang dengan posisi sama penting seperti Joachim Loew.
Komentar