Dalam menjalani hidup ini, terkadang
kita (termasuk saya) lebih suka mengedepankan dugaan atau prasangka dalam
menilai situasi ataupun individu. Misalnya saja, ada seorang seorang anak SMP yang
pulang ke rumah dengan motor yang lecet dan celana di bagian dengkul yang sobek
dan basah kena darah. Karena kemarin ketika pulang kerja sang Ayah melihat anak
berseragam SMP kebut-kebutan di jalan sambil membonceng temannya, maka sang
anak yang datang dengan wajah pucat itu disambut dengan perkataan: “Makannya! Baru
bisa naik motor mah gak usah belagu ngebut-ngebut! Rusak deh tuh motornya. Emangnya
kamu bisa benerin?” Alih-alih berharap ada yang segera menolong dengkulnya di
rumah, si anak malah cemburu sama motor yang tadi jatuh karena keserempet truk
tangki Pertamina ketika ia mencoba menyalip dari sebelah kiri dengan ragu-ragu.
Ketika kita bersikap berdasarkan
informasi yang baru dilihat, itu merupakan siklus normal respon otak manusia. Hal
itu tak jauh berbeda dengan halaman facebook yang langsung terbuka ketika kita
memasukkan password yang benar. Namun tentu pikiran kita tidak sama dengan Komputer
yang beroperasi berdasarkan instruksi yang diterima. Kita juga memiliki hati
sebagai penyelaras pikiran. Selanjutnya hati memiliki peran tersendiri dalam
perkembangan jiwa manusia. Perannya yang paling dasar: mengetahui siapa
dirinya. Pada suatu pagi saya iseng bertanya kepada seorang tukang kue biasa dipanggil
ayah saya untuk sarapan dan bekal sekolah adik saya, “udah berapa lama bu,
jualan kue?” wanita yang sudah cukup berumur itu menjawab, “ Alhamdulillah,
dek. Dengan kerjaan seperti ini saya bisa nyekolahin anak saya SD sampai SMP. Saya
sudah semeleh sekarang. Pasrah saking Gusti Allah. Ya mungkin
memang rezeki saya dari kue ini.” Mulut saya tak bisa lagi mengomentari
ucapannya.
Bila profesi tukang kue saja
dapat disyukuri dengan sederhana, bagaimana dengan profesi sebagai pegawai swasta atau pegawai negeri,
atau bahkan pejabat Negara. Bagaimana kita menyikapi pekerjaan kita sehari-hari
tergantung bagaimana kita mengenal diri sendiri. Saya sebagai karyawan swasta
misalnya, kerap mendapatkan pemandangan unik di kolong flyover jalan tol Pondok
Pinang. Unik karena jarang saya lihat dalam kehidupan sehari-hari: bermodalkan
botol kecil yang diisi segenggam beras seorang anak berusia sekitar 11 tahun
mengamen dalam mobil angkutan umum, sedang adiknya yang dekil dan seharusnya
duduk di bangku TK membagikan amplop kecil kepada setiap penumpang. Tetapi itu
bukan peristiwa yang unik barangkali bagi orangtua mereka yang bekerja sebagai
pengemis. Gambaran ini menyentil kesadaran saya; rasa syukur saya karena
percaya bahwa segala sesuatunya telah ditentukan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Saya
percaya, hati memiliki andil penting dalam mekanisme(kesadaran) batin ini.
Muncul pertanyaan selanjutnya
bila benar hati memengaruhi kesadaran setiap jiwa manusia. Sadar akan kehidupan
yang berkecukupan dan naluri serakah yang dapat bertambah. Menjadi penjual kue
keliling apalagi pengemis tentu bukan pekerjaan yang diharapkan setiap orang. Tetapi
lihatlah, dengan profesi seperti itu ada orang yang mampu semeleh
(bahasa Jawa: pasrah) dan membesarkan anaknya dengan senang hati. Namun di
bagian kota yang lain, lihatlah betapa mereka merasa kurang puas atas
penghasilan yang didapatnya. Kasus-kasus korupsi yang melibatkan para wakil
rakyat dan sebagian petinggi partai penguasa (baca: Demokrad) yang kita
saksikan di televise hanyalah bagian atas dari gunung es perilaku korup di
lingkungan administrasi pemerintah, mulai dari perangkat desa sampai Menteri
sebagai perangkat pembantu Presiden. Tak ayal perilaku korup tersebut membentuk
sebuah adat yang hanya dimiliki suatu bangsa yang hampir hancur. Keadilan sosial
dikesampingkan, kepedulian sosial terkikis, meringis dalam garis yang tipis. Garis
itu makin menipis ketika terpampang jelas pada zaman ini dilema sosial Negeri
kita: yang kaya makin makmur sejahtera, yang miskin makin sesak terpilin. Negeri
yang memiliki SDA melimpah – di darat maupun di laut, dipimpin dan dikelola oleh
manusia yang ingin hidup seperti raja. Alhasil ekonomi kapitalisme yang mulai
merajai pasar diabaikan saja, asal ada sedikit kapital yang diselipkan ke saku.
Saya yakin penjual kue yang
sering lewat depan rumah saya dan para pengemis dan keturunannya yang hidup di
emper jalanan ibukota tak begitu paham apa itu kapitalisme. Mereka tak sadar
bahwa sistem tersebut hanya memenangkan orang yang memiliki paling banyak modal
(kapital). Sedangkan mereka yang tidak punya apa-apa hanya dapat berdoa agar
hari-harinya secerah dulu kala. Ketika saya mengetik tulisan ini dan menengok
acara televisi, aktris Wulan Guritno yang mengenakan gaun dengan belahan “V”
sampai ke perut – lengkap dengan kalung emas yang tebal, sedang naik ke atas
panggung Movie Award. Terlepas dari rasa penasaran bawa ada sedikit
bagian payudara Wulan Guritno yang tersembul dari balik gaun mewah yang
dikenakannya, saya mencoba membandingkan, apa yang sedang dilakukan bocah pengamen
di kolong flyover jalan tol Pondok Pinang ketika saya bisa asyik nonton televisi
di rumah saat ini? Memerhatikan sekeliling kita dengan lebih seksama terkadang
merupakan cara terbaik dalam menikmati hidup ini. Ada hal yang kita lewatkan
ketika kita mengeluhkan sesuatu yang tidak berjalan sesuai rencana. Sungguh,
hanya Tuhanlah yang memiliki rencana mutlak bagi setiap mahluk ciptaannya. Apa benar
setiap orang hanya merasa bahagia bila semuanya berjalan sesuai harapan dan
rencananya? Menurut saya, kita dapat selalu merasa bahagia bila kita selalu
berpikiran positif dalam mengenal diri sendiri. Di akhir saya mengutip
perkataan seorang bersahaja yang pernah saya lihat di televisi: “Tujuan hidup kita bukanlah untuk menjadi berbahagia. Tujuan
hidup kita adalah untuk menjadi sebab bagi kebahagiaan, bagi diri sendiri dan
bagi sebanyak mungkin orang lain” [Mario Teguh].
Komentar