Langsung ke konten utama

Rumah


Pada pagi yang dingin ini (mungkin sejuk lebih tepatnya), gue mulai menyadari sedang tinggal di mana. Rumah yang yang dihuni oleh sebuah keluarga utuh yang konservatif. Menjaga erat keyakinan turun-temurun dari Kakekku (Ayah Ibuku) bahwa agama merupakan satu-satunya hal yang mesti jadi pegangan hidup. Tanpanya manusia dapat berjalan oleng di atas dunia ini. Oleh karena itu pula sejak kecil gue sudah dimasukkan ke TK Islam Swasta (emang gak ada, TK Negeri). Selnjutnya gue disekolahkan di SDIT, lalu lanjut ke MTs. Sampai akhirnya lulus dari sebuah Madrasah Aliyah di daerah Kuningan, Jawa Barat.
Pada perjalanannya manusia kerap mengenal rasa dan nilai baru dalam hidupnya secara sadar atau tidak. Tak terkecuali gue yang sejak kecil selalu disuruh solat lima waktu. Wajib, katanya. Agama menjadi persoalan fundamental dalam imperial keluarga gue. Kalo ada salah satu anaknya yang udah gede ketahuan gak solat atau menunda solat, maka bokap gue bisa melepas amarahnya seperti melepas burung Merpati ke udara.
Namun itu bukan satu-satunya hal yang bisa bikin bokap gue marah. Beliau bisa marah dan membentak anaknya karena banyak hal: telat berangkat sekolah, belajar malam, ngaji maghrib, beresin rumah, nyapu, ngepel, dan solat lima waktu yang sebelumnya udah gue bahas. Itu semua bisa terjadi karena ketika bokap gue merasa kesal, dia akan cuek bin diem. Sehingga gue atau adek-adek gue gak bisa tahu kalau kami ternyata telah melakukan kesalahan. Alhasil ketika pada malam harinya gue atau adek gue gak belajar – justru nonton TV, bokap gue akan bersuara keras mengintimidasi dan menyebutkan kesalahan yang gue dan atau adek gue lakukan.
Sebenarnya beliau amat memerhatikan kami (padahal kami gak pernah merhatiin si amat). Lihat saja, ketika anak remaja seusianya sedang merasa galau, adek gue yang SMP dapat terhindar dari rasa galau dengan mudah. Ketika sedang belajar malam di kamar, bokap menegurnya, “Heh, belajar kok sambil sms-an mulu. Gimana mau dapet ranking lima besar di kelas. Sinih, Bapak pinjem dulu hpnya.” Seketika itu pula raut wajah adek gue berubah dan raut pensilnya gak bisa dipake karena karatan. Cemberut karena modusnya ternyata tidak berhasil. Lihatlah sisi baiknya; bukan rasa galau yang tumbuh dalam hati adek gue, tapi kesal karena handphone-nya disita petugas setempat.
Ya, seperti itulah rumah kami. Rumah yang gak sepi-sepi amat, tapi lumayan angker. Selanjutnya, ketika kita semua harus diseret oleh waktu, kami pun tumbuh sebagai anak yang dapat menjaga perilakunya (di rumah). Tak lain itu karena kami terus merasakan intervensi dari penguasa rumah bila kami tak berbuat semestinya, merasa takut diintimidasi kembali bila berbuat salah. Maka tak aneh bila kami tumbuh sebagai anak yang pendiam (di rumah). Ya, hanya di rumah. Di luar, dalam dunia pergaulan kami masing-masing, sifat itu kadang memang selalu terbawa. Bila mood sedang kurang enak, perlu ada yang menegur duluan supaya gue bisa ngobrol asyik. Bila sedang lapar, harus ada tukang siomay yang lewat dan uang di saku agar gue gak laper lagi.
Meski demikian, kami (gue) berhasil tumbuh sebagai manusia normal dan (adek-adek gue) kecebong yang normal. Gue yang dari TK sampe SMA duduk di Sekolah Islam Swasta (dan jongkok pas lagi di WC), memutuskan untuk jadi muslim yang lurus (jalannya – kalo belok-belok disangka gila). Nyatanya begitulah manusia, berjalan di atas dunia ini dengan pikiran dan hati yang dibentuk sejak kecil di rumah. Kita menjadi arif secara alami ketika mampu mengingat dari mana kita berasal. Seperti Penyu hijau yang selalu kembali ke tempat kelahirannya untuk membangun keluarga (reproduksi). Penyu hijau yang sedang hamil mampu berenang lebih dari 1600 km dari tempat mereka mencari makan di Brasil menuju pulau Ascension di Samudera Atlantik Selatan.

Komentar

Story teller mengatakan…
Nyengir kuda gue kak, merhatiin gaya nulis kau. jempol dari gue

Postingan populer dari blog ini

Hati Berproses

Waktu bergulir begitu cepat seperti debu yang merambat. Sesekali dapat terlihat dari celah sinar mentari yang masuk ke rumah. Debu berterbangan bebas tanpa arah. Namun itu menurut kita. Seperti waktu, debu dihadirkan dengan takdirnya mengikuti arah angin yang membawanya. Bisa menempel di pohon-pohon, bisa menempel di celah bangunan pencakar langit, bisa juga mengendap di lorong dapur tempat ibu biasa memasak. Maka waktu, meski bukan sekumpulan zat organik yang terbang bebas di sekitar kita, ia adalah jatah yang kita miliki, jatah keluasan udara yang kita rasakan saat ini. Wahai sang pemilik waktu, izinkanlah aku hanya berdoa kepada-Mu. Wahai pemilik bulan november yang menakjubkan, ada seorang anak kecil yang sedang berproses disana. Sejak kecil ia adalah wanita yang pandai menjaga dirinya. Seorang yang suci dan tak mudah terdistraksi. Sikapnya yang bijaksana melapisi tubuh mungilnya. Proses menentukan hasil. Semoga jiwa besarnya mengantarkan ia ke level selanjutnya.

Setan

Kutulis ini setelah aku bercengkerama dengan setan. Tak ada kebohongan tersirat dari wajahnya. Dia berkata seolah tak pernah ada yang mendengarnya. "Dunia ini hanya tinggal sisanya saja," katanya. Antara ada dan tiada aku pun memercayainya. Sisa dari apa? Aku pun tak paham. Namun begitulah dia beserta sifatnya. Berusaha membisikkan kuping manusia dengan kejahatan, meski itu bukan suatu kebohongan. Ya, kejahatan memang sudah lama merasuk dalam setiap sendi kehidupan umat manusia. Bercokol dalam dusta setiap ruh yang memakmurkannya. Tak ada bisa, tahta pun jadi. Kursi kekuasaan mampu melegitimasi nasib lebih-lebih daripada bisa meluluhlantakkan kancil yang arif. Sudah lama cerita ini menggema. Berulang terus dalam beberapa kisah berbangsa dan bernegara. Bukan hanya di atas saja. Dampak kuasa itu terus menjalar ke aliran selokan-selokan di bawah jalan raya ibu kota. Pengemis berdasi bergelimpangan memenuhi zona kapitalisasi ekonomi yang tak pernah lagi sama. Tipu muslihat tel
Sudah lama sepertinya saya tidak menulis di media ini. Sumpah, susah tau menuang isi pikiran ke dalam tulisan semacam ini. Terakhir kali nulis di blog ini tahun 2018 dan sekarang sudah 2023! Lama juga ya. Sedikit cerita kenapa saya bisa nulis lagi di blog ini adalah disebabkan satu keputusan salah yang saya buat di tahun 2022, yaitu membeli MacBook Air M1 yang harganya jauh lebih mahal dari laptop windows kebanyakan. Iya, saya salah karena sebetulnya saya belum mampu beli device ini secara cash. Haha. Saat ini alhamdulillah saya sudah menikah & memiliki seorang anak. Anak perempuan lucu bernama Zhafira. Jadi lima tahun saya tapa menulis blog ini adalah waktu panjang yang saya isi dengan keputusan-keputusan penting dalam hidup. Menyukai perempuan - menikah - punya anak: itu sungguh pilihan penting yang akan mengubah seluruh hidupmu. Mengubah pandanganmu terhadap realitas dunia yang sedang kamu jalani, mengubah orientasi nilai-nilai yang kamu dapatkan & harapkan.  Mungkin bagi ya