Langsung ke konten utama

Jalan Malioboro

Sengaja atau tidak, kita terus mengisi hidup ini dengan kasih sayang, entah bersama keluarga, pasangan hidup, ataupun teman. Saya kira itu juga cukup menjadi alasan mengapa kita masih bersemangat menjalani hari ini. Sengaja atau tidak, menjadi hal yang tidak mesti ketika kita melakukan sesuatu dengan senang hati.
Dalam berbagai trip yang saya lakukan, ketidaksengajaan justru membawa saya pada banyak pengalaman yang sulit dilupakan. Salah satunya terjadi di Jalan Malioboro. Sebagai pelajar dengan kemampuan finansial yang masih middle class,satu-dua kali saya beruntung dapat mencicipi udara segar Kota Pelajar. Di antaranya adalah ketika menemani teman saya beli kaos oblong Dagadu. Pada masa itu, kaos oblong bergambar unik itu sedang naik daun di lingkungan sekolah menengah kami di Kuningan, Jawa Barat. Seorang teman berniat membeli banyak kaos oblong tersebut dari pusatnya dan menjual kembali ke adik-adik kelas.
“Jis, ikut gue ke Jogja yuk.”
Ayuk.”
Jawaban itu terucap lebih karena mendengar kalimat selanjutnya, “Tenang, pulang-pergi gue bayarin deh.”
Tak lama kemudian kami sudah duduk di peron stasiun kota Cirebon. Mungkin untuk mengusir jenuh, Bajong menyapa seorang bapak berkumis tebal, bertanya kapan kereta kelas ekonomi tujuan Yogyakarta akan datang. Tanpa disangka, bapak berkumis tebal itu dapat mengubah cerita perjalanan kami. Ia menawarkan kami untuk naik kereta kelas bisnis saja, ikut temannya, seorang angkatan bersenjata yang sedang berjaga katanya. Kereta berjalan, dan kami hanya membayar setengah harga karcis kelas bisnis kepada pemuda berambut cepak, teman bapak berkumis tebal. Riang hati gembira; nyenyak sampai tujuan dengan harga ekonomis, plus dijamin aman.
Kami tiba di stasiun Tugu saat mentari mulai menyembul. Udara masih dingin menyelisik. Terasa sejuk saat menghirup nafas. Beberapa kuli panggul menyerbu walau melihat beban yang kami bawa tidak terlalu berarti. Kami rasa cukup waktu sehari untuk membeli empat kodi kaos oblong Dagadu, berkeliling sebentar, lantas kembali ke Cirebon. Di luar stasiun berjajar becak dan taksi, empunya sibuk menarik perhatian orang-orang yang baru keluar dari stasiun. Termasuk kami berdua. Tangan Bajong ditarik oleh seorang kakek yang mirip mbah Maridjan. Yang ditarik menepis, menolak, dan akhirnya bernegosiasi. Si mbah Maridjan tak mau kalah, “Uwis, wolungewu lah.” Semenit kemudian, kami menembus kabut tipis Jalan Malioboro dengan becaknya.

Selanjutnya, dari atas becak saya menemukan kota yang masih begitu asri. Nuansa tradisional sebagai sebuah daerah istimewa dibungkus udara pagi yang sejuk. Suasana yang sama sekali berbeda bila berada di pinggir jalanan Ibu kota pada waktu yang sama. Ibu-ibu dan nenek-nenek masih bersemangat mengayuh sepeda ontel ke pasar, anak-anak kecil berangkat sekolah dengan sepeda mini, semua terlihat begitu manusiawi melestarikan suasana tradisional di tengah gedung pertokoan yang rapat berdampingan. Pagi yang hangat dan indah.
Empat kodi kaos Dagadu yang tadi kami pilih satu-satu diikat jadi satu dalam kardus Aqua. Namun sayang tak dapat kami bawa dengan segera, Bajong baru membayar setengahnya. Ia harus menunggu rekan bisnisnya men-transfer setengahnya lagi sampai sore nanti. Jadilah kami mengitari kota pelajar yang asri seharian bersama si Mbah Maridjan yang bermuka rusuh karena dibayar dengan harga superekonomis. Kami sempat mengunjungi sebuah keraton mini yang berada beberapa meter dari jalan Malioboro. “Jangan dipakai sendalnya,” kata si Mbah Maridjan dengan logat kentalnya. Sampai senja menjelang malam, rekan bisnis Bajong belum juga mengirim uang yang dijanjikan. Itu berarti: kami harus menginap.
Untung partner trip saya kali ini tergolong supel. Kami bisa menginap di indekos salah seorang kenalan temannya. Siang harinya Bajong memberanikan diri untuk meminjam motor kenalan temannya itu. Kami mendapati motor klasik (untuk tidak menyebut butut) Astrea yang masih layak pakai sebagai kendaraan terbaik kami, mengingat dompet yang makin menipis. Setelah meminjam STNK dengan amat santun, kami berangkat menuju gerai Dagadu yang kemarin kami kunjungi. Di tengah jalan Kaliurang menuju jalan Malioboro kami terjebak dalam sebuah kerumunan motor. Kenapa semua sepeda motor yang lewat menepi? Waduh, ternyata ada razia motor dari Polda setempat. Kami tak bisa menghindar. 20 ribu rupiah keluar. Kami hanya bisa memaki dalam hati.
***
Pada pertengahan tahun 2010, tanpa direncanakan saya kembali menyambangi Jalan Malioboro bersama tiga teman saya. Kami berempat bertugas magang di sebuah perusahaan percetakan di daerah Surakarta. Tiga minggu berlalu, dan kami menyempatkan diri mampir ke Yogyakarta yang tak jauh dari situ. Tujuan pertama dan terdekat: Candi Prambanan. Kawasan candi menjulang itu menjadi tempat yang pas untuk jeprat-jepret. Sekumpulan turis yang (bila dilihat dari wajahnya) berasal dari Puerto Rico meminta saya untuk memotret mereka. “Could you take a... picture, please?” kata dua cewek yang terlihat lebih berisik, Mom and her daughter, I guess.
Senja hampir tenggelam ketika kami keluar dari sana. Mampir ke sebuah angkringan di persimpangan. Dua bungkus nasi kucing saya pikir cukup mengusir lapar. Lauknya? Di situ berjajar bermacam-macam lauk. Ada satu yang menarik perhatian, terlihat seperti tahu goreng, tapi berwarna hitam. Saya jadi ragu. Namun, karena disemangati oleh teman-teman, melahapnya sekali terasa menyenangkan. Tapi, kenapa tidak ada rasanya?
“Ini apa, Bu?” saya bertanya kepada penjualnya.
“Itu marus.”
“Terbuat dari darah ayam,” teman saya menimpali.
Glek! Huekk....
Kenyang-tak kenyang kami berjalan ke halte bis yang tak  jauh dari persimpangan  jalan itu. Berbaris beberapa bis mini bertuliskan ‘Trans Jogjakarta’ di depannya. Tujuan kami selanjutnya: Jalan Malioboro. Bis mini ini terasa cukup nyaman dibanding Trans Jakarta yang selalu sesak. Kami duduk berhadapan, deretan bangku di sebelah kami lengang. Namun di setiap halte pemberhentian berikutnya, tak kurang dari sepuluh orang ikut masuk.
“Sebentar lagi turun,” teman saya berkata pelan.
Kami pun berdiri, bersiap turun dari bis yang sudah penuh ini. Ketiga teman saya sudah berdiri dekat pintu keluar. Pintu yang sama seperti pada Trans Jakarta, namun hanya satu. Saya berdiri paling belakang sambil sms-an. Sejak duduk tadi saya memang lebih antusias dengan handphone. Satu menit selanjutnya terdengar suara gaduh dari luar. Wah, ternyata itu  teriakan tiga teman saya, memanggil saya yang masih berdiri dalam bis mini yang melaju perlahan.
“Nanti saja, Mas. Pemberhentian selanjutnya Malioboro Dua,” kata petugas berseragam batik yang melihat saya gelisah mau keluar. Satu-dua penumpang mesam-mesem menahan tawa.
Jalan Malioboro pada malam hari – apalagi ketika hari libur – laksana kolam ikan emas yang ditaburi pelet. Pusat-pusat keramaian diselimuti kerlap-kerlip lampu hias dan lampu-lampu jalan yang membuat aspal menjadi kekuningan. Di pinggir jalan, di depan museum Benteng Vredeburg, lampu sorot terikat di pohon-pohon besar yang terawat. Cahaya silaunya membuat setiap orang yang melintasinya terlihat anggun. Ini momen yang langka. Cahaya kekuningan itu memberi efek dramatis, saya pun mengajak teman-teman saya untuk berfoto. Saya menempel di salah satu pohon besar seperti ulat bulu, diterpa lampu sorot yang terasa hangat. Beberapa orang yang lewat dan yang duduk di kursi-kursi panjang memandangi kami. Kami menempel bergantian di batang pohon besar bak model kalender.

Kami terus berjalan, dan sampailah kami di perempatan yang lebih dikenal Titik nol kilometer Yogyakarta. Mengapa disebut demikian? Mungkin karena kawasan ini berada di tengah-tengah garis imajiner antara Gunung Merapi, Keraton, dan Laut Selatan. Perempatan ini menghubungkan Jl. Ahmad Dahlan, Jl. Senopati, Jl. Ahmad Yani, dan Alun-alun utara Yogyakarta. Perempatan ini juga berada di pusat arus perdagangan dan pariwisata. Lihat saja, beragam warung jajanan berderet di pinggir jalan. Saya duduk di depan Monumen Perjuangan Serangan Umum 1 Maret, melihat mobil, motor, becak, dan delman lalu-lalang  di Titik nol. Beberapa turis asing terlihat riang naik delman. Di seberang jalan sedang digelar pentas seni musik, sebuah band indie melantunkan irama Blues. Orang-orang yang mengerubungi pentas seni itu melempar uang recehan ke topi yang disodorkan keliling.
Itulah kisah saya di Yogyakarta yang eksotis dengan segala kilaunya. Sejumlah pesona itu membawa kawasan ini sebagai objek wisata yang terus ramai. Pesona itu juga telah membawa banyak orang kepada pengalaman unik tak terlupakan. Salah satunya telah saya coba tuliskan di sini. Pengalaman adalah guru yang bijak. Menjadi lebih baik dari hari kemarin adalah fase yang penting bagi manusia. Namun saya pikir, berehat sejenak dari kepadatan aktivitas sehari-hari itu lebih penting.

Komentar

rahardianaziz mengatakan…
Pengen sekali lagi dah kesana.. Malioboro.. oh..

Postingan populer dari blog ini

Hati Berproses

Waktu bergulir begitu cepat seperti debu yang merambat. Sesekali dapat terlihat dari celah sinar mentari yang masuk ke rumah. Debu berterbangan bebas tanpa arah. Namun itu menurut kita. Seperti waktu, debu dihadirkan dengan takdirnya mengikuti arah angin yang membawanya. Bisa menempel di pohon-pohon, bisa menempel di celah bangunan pencakar langit, bisa juga mengendap di lorong dapur tempat ibu biasa memasak. Maka waktu, meski bukan sekumpulan zat organik yang terbang bebas di sekitar kita, ia adalah jatah yang kita miliki, jatah keluasan udara yang kita rasakan saat ini. Wahai sang pemilik waktu, izinkanlah aku hanya berdoa kepada-Mu. Wahai pemilik bulan november yang menakjubkan, ada seorang anak kecil yang sedang berproses disana. Sejak kecil ia adalah wanita yang pandai menjaga dirinya. Seorang yang suci dan tak mudah terdistraksi. Sikapnya yang bijaksana melapisi tubuh mungilnya. Proses menentukan hasil. Semoga jiwa besarnya mengantarkan ia ke level selanjutnya.
Sudah lama sepertinya saya tidak menulis di media ini. Sumpah, susah tau menuang isi pikiran ke dalam tulisan semacam ini. Terakhir kali nulis di blog ini tahun 2018 dan sekarang sudah 2023! Lama juga ya. Sedikit cerita kenapa saya bisa nulis lagi di blog ini adalah disebabkan satu keputusan salah yang saya buat di tahun 2022, yaitu membeli MacBook Air M1 yang harganya jauh lebih mahal dari laptop windows kebanyakan. Iya, saya salah karena sebetulnya saya belum mampu beli device ini secara cash. Haha. Saat ini alhamdulillah saya sudah menikah & memiliki seorang anak. Anak perempuan lucu bernama Zhafira. Jadi lima tahun saya tapa menulis blog ini adalah waktu panjang yang saya isi dengan keputusan-keputusan penting dalam hidup. Menyukai perempuan - menikah - punya anak: itu sungguh pilihan penting yang akan mengubah seluruh hidupmu. Mengubah pandanganmu terhadap realitas dunia yang sedang kamu jalani, mengubah orientasi nilai-nilai yang kamu dapatkan & harapkan.  Mungkin bagi ya

Passing Through

Hampir setiap tiga bulan kita bisa lihat ada smartphone keluaran terbaru yang mengusung spesifikasi terbaik. Handphone yang ada di tangan kita saat ini bisa menyediakan hampir semua kebutuhan kita, dia menampilkan sejuta pesona, dia adalah layar kotak bersinar penuh kilau. Sebagian waktu kita bisa jadi lebih banyak dihabiskan di depan layar smartphone atau komputer. Tapi tahukah kamu bahwa waktu adalah salah satu modal terbesar kita untuk membuat diri kita menjadi apa kita inginkan. Misalnya, kita ingin jadi orang sejahtera yang terlihat dari mobil yang kita punya, kita ingin punya perusahaan yang mempekerjakan beberapa karyawan, kita ingin lulus cumlaude dari sebuah universitas dan dipanggil sebagai mahasiswa terbaik pada perayaan wisuda, dan seterusnya. The problem is: the most of us doesn't realize what we want to be. " Because we're living in a world of fools ," begitu kata band legendaris Bee Gees dalam salah satu lagunya. Apa saja yang bersinar di layar gadget