Matahari masih terik di atas ubun-ubun. Pukul satu siang. Ini merupakan hari penghujung tahun. Rio duduk santai di teras depan rumahnya yang teduh oleh genteng berwarna merah pudar. Ia duduk di atas sofa kayu yang tidak empuk karena bantal pelapisnya sedang dijemur. Di sebelahnya tersandar sebuah tas gendong yang cukup untuk dipakai bepergian satu-dua hari. Ada tulisan Eiger di kantung depannya. Rio hanya senyum-senyum kecil sendiri sambil BBM-an dengan Dina.
“Jadi berangkat jam berapa kita ni?”
“Tenang aja sih, ay. Masih panas begini. Buru-buru amat,” balas Dina.
“Ya udah, tapi nanti jangan ngambek ya kalau kena macet di jalan….”
“Iya iya, aku ke rumah kamu sekarang deh.”
“Jangan lupa bawa sarung tangan sama kaus kaki.”
“Oke.”
Tak lama kemudian Dina datang dengan tas yang lebih kecil dari tas Rio. Mirip dengan tas yang biasa dipakai siswa-siswa SMA sekarang, bedanya tidak dicoret-coret. Berniat membuat Rio terpesona, Dina mengenakan celana jins hitam panjang yang ngepas mengikuti bentuk kakinya yang jenjang. Atasannya kaus putih polos dilapisi sweater tipis hijau tua yang juga berbahan kaus. Kasual dan trendy. Parasnya jangan ditanya. Putih-bening. Tanpa makeup pun sudah manis. Bikin hati tak karuan bila melihatnya. Rambutnya yang sebahu digulung ke belakang.
Matahari yang terik langsung terlihat seperti lampu taman saja di mata Rio. Setelah sedikit menganga, untuk menyembunyikan kekagumannya Rio segera menyambar tasnya dan pamit kepada Ibunya. Ia langsung menyalakan motornya dan membuka gerbang. Tujuan mereka berdua siang ini hanya satu: Puncak. Malam nanti merupakan momen yang benar-benar patut dirayakan, pikir Rio dalam hati.
Yamaha Vixion biru itu segera membelah jalan raya Pamulang. Di atasnya muda-mudi dengan angan menikmati suasana malam pergantian tahun di tempat yang tidak biasa. Yang spesial, menurut Rio. Sedangkan Dina, langsung menyetujui kata “sekali-kali” dari Rio ketika kemarin mereka merencanakan perayaan tahun baru via Blackberry Messenger.
“Bakar ayam di rumahku aja, yuk,” bujuk Dina.
“Yah. Kalau acara bakar-bakaran sih hampir tiap malam tahun baru halaman belakang rumahku mengepul. Aku mau yang lebih spesial, Din. Cuma untuk kamu. Untuk kita berdua.”
“Iya, sekarang bakar-bakarannya kan jadi spesial karena ada aku… ;p”
“Ya udah, aku sih tetep mau berangkat ke puncak.”
“Keukeuh ni yaa?... Lagian nanti nginepnya di mana coba?”
“Di sana tuh ada rumah teman lamaku. Di Ciawi. Makannya aku mau ke sana sekalian mau main ke rumahnya. Udah lama aku ga ke sana. Sekali-kali aja kok Din.”
“Oke deh kakaak…. Aku udah ngantuk. See you.”
Rio kembali memacu motornya. Yamaha Vixion berwarna biru metalik itu melesat membelah jalan panjang Parung. Tapi Rio sesekali harus memelankan laju motornya untuk mendengar apa yang diucap Dina. Tak jarang Rio berceloteh tentang teman-teman kampusnya, adiknya, atau laptopnya yang penuh virus. Dan Dina menimpali dengan cekikikan panjang. Sesekali membuat Dina harus melepas maskernya agar bisa melepas tawa. Dina pun begitu. Hampir sudah semuanya ia ceritakan di atas jok ramping Vixion itu. Teman-teman kampus (bukan geng rumpi karena Dina tidak terlalu suka ngerumpi), teman-teman virtual di Twitter, satu-persatu anggota keluarga di rumahnya, serta semua komentar emosionalnya masing-masing. Sambil terus focus melihat ke depan Rio menyautinya dengan senyum-senyum kecil. Mereka berdua amat menikmati perjalanan itu.
Tak terasa Vixion biru itu mulai memasuki Kota Bogor. Di papan selamat datang tertulis besar-besar: Bogor Kota Beriman. Obrolan renyah itu diselingi angin Kota Bogor yang sudah mulai dingin karena matahari mulai terbenam di barat. Garis horizontal di bagian barat Kota Bogor yang kini terlihat dibelakangi gedung megah salah satu pusat perbelanjaan mulai membentuk gradasi warna ke atas: merah-oranye-kuning-biru. Dina yang sedang membayangkan dataran tinggi Puncak tiba-tiba mengasosiasikan ingatannya tentang Gunung Gede.
“Eh, si Devi gimana kabarnya ya?”
“Kok, kamu tiba-tiba nanya hal yang ga penting kaya gitu sih?”
“Bener ni, ga penting? Aku lagi inget Gunung Gede aja tadi. Eh, jadi kepikiran si Devi, anak Mapala yang katanya suka sama kamu.”
“Sudah, lah. Itu kan masa lalu. Aku kan sudah janji, ga bakal ngulangin lagi.”
“Tapi kalau belum kepergok SMS-an, sekarang masih lanjut ga yaa?...”
“Ya, enggak lah. Aku kan sayangnya Cuma sama Dina,” ujar Rio sambil tangan kirinya menggapai ke belakang, mencoba mengelus pipi Dina.
Yang berusaha dielus malah menggigit pelan. “Gombal.”
“Aduwh. Iya. Ampun deh. Enggak lagi.”
“Sekalian review kesalahan kamu di 2010, tauk.”
Percakapan itu sedikit-banyak mempengaruhi suasana hati Dina. Ia tidak lagi semangat ngobrol seperti sebelumnya. Angin malam Kota Bogor membantunya kembali rileks dan tenang. Dina tertidur.
Sampai di pasar Ciawi Rio membangunkan Dina. Jam di ponsel Dina menunjukkan pukul 20.10. Udara semakin sejuk. Dingin lebih tepatnya, tapi itulah Dina yang lebih suka menerima segala sesuatu dengan pikiran positif.
“Ini pasar Ciawi, lain? Ga mampir ke rumah teman kamu dulu?” tanya Dina.
“Nanti aja. Temanku juga katanya lagi di Puncak.”
“Emmh. Kenapa kita ga nonton kembang api di sini saja? Kamu ga lihat tuh, macet kaya gitu?” ujar Dina sambil menunjuk jalanan menanjak di hadapan mereka yang penuh oleh sepeda motor dan mobil-mobil angkutan umum.
“Tenang. Masih keburu, kok. Ini kan masih jam setengah Sembilan. Lagi pula kata temanku di Puncak pesta kembang apinya akan lebih meriah.”
Vixion biru itu terus melaju. Mereka berdua terus menanjak ke atas. Hanya satu yang dituju: Puncak. Sebenarnya cuma Rio yang semangat untuk sampai ke Puncak. Sedangkan Dina masih berusaha menebak-nebak mengapa Rio sangat ingin sampai di sana. Dan satu-satunya alasan bagi Dina adalah agar tidak mengecewakan lelaki yang ia cintai itu.
Kendaran begitu padat memenuhi badan jalan menuju puncak. Ada bus patas antar provinsi, bus besar pariwisata, mobil-mobil kapsul, bus mini Hiba Utama, dan ratusan sepeda motor tumpah ruah di jalan raya Puncak yang cukup lebar itu. Tidak terlalu lebar sebenarnya. Namun karena malam itu diberlakukan sistem satu jalur jalan itu terlihat cukup lebar. Rio menarik tuas gas motornya berkali-kali, merespon celah kosong di depannya yang maju sedikit-sedikit. Malam ini sungguh spesial. Kita akan menginap di sebuah vila, Dina, bisik Rio dalam hati dengan semangat. Ternyata itulah niat Rio sebenarnya mengajak Dina ke tempat ini. Rio semakin bersemangat ketika di pinggir jalan mulai banyak bapak-bapak, pemuda, bahkan anak-anak yang menjajakan vila. Yang sejak kemarin ia sebut sebagai “temanku” atau “teman dekatku” sebenarnya juga tidak ada. Hawa nafsulah yang menjadi teman setianya selama ini, menempel terus di kepalanya.
“Din, malam ini kita menginap di vila saja ya?”
“Enggak, ah. Dari kemarin kan kamu bilang mau menginap di rumah temanmu. Tadi bukannya mampir dulu untuk memastikan.”
“Iya. Sekarang aku justru lost contact dengannya. Gangguan jaringan sepertinya.”
“Pokoknya aku enggak mau!” entah kenapa Dina kembali mengingat pesan Ibunya agar ia bisa menjaga dirinya, “Pandai-pandai menjaga diri ya, naak.”
“Kamu mau kita langsung pulang malam ini juga, begitu?”
“Ya iya, lah. Kan ga ada judulnya kita nginep bareng di vila.” Entah kenapa Dina tidak dapat berpikir positif sekarang. Ia langsung mengasosiasikan kata vila itu dengan hal-hal negatif yang pernah ia dengar dari teman-temannya (satu-dua temannya bahkan menceritakannya dengan bangga).
“Ya, sudah. Kita pulang.”
Di belakang Rio, Dina sesenggukan menahan tangis. Mengeja nafasnya. Tapi tidak lagi ketika mereka melewati jalan pulang yang lengang. Satu-dua kembang api mulai bermekaran menghias gulita malam. Satu kembang api meluncur deras ke atas melawan gravitasi, mekar menjadi lima cabang cahaya, setiap cabangnya bermekaran lagi menebar putik-putik cahaya kecil yang indah. Sekarang puluhan. Saling menyusul membentuk guratan indah di langit. Warna-warni. Ikut mewarnai hati Dina. Dina berdoa semoga cahaya kembang-kembang api itu tak putus menemaninya sampai Jakarta.
“Jadi berangkat jam berapa kita ni?”
“Tenang aja sih, ay. Masih panas begini. Buru-buru amat,” balas Dina.
“Ya udah, tapi nanti jangan ngambek ya kalau kena macet di jalan….”
“Iya iya, aku ke rumah kamu sekarang deh.”
“Jangan lupa bawa sarung tangan sama kaus kaki.”
“Oke.”
Tak lama kemudian Dina datang dengan tas yang lebih kecil dari tas Rio. Mirip dengan tas yang biasa dipakai siswa-siswa SMA sekarang, bedanya tidak dicoret-coret. Berniat membuat Rio terpesona, Dina mengenakan celana jins hitam panjang yang ngepas mengikuti bentuk kakinya yang jenjang. Atasannya kaus putih polos dilapisi sweater tipis hijau tua yang juga berbahan kaus. Kasual dan trendy. Parasnya jangan ditanya. Putih-bening. Tanpa makeup pun sudah manis. Bikin hati tak karuan bila melihatnya. Rambutnya yang sebahu digulung ke belakang.
Matahari yang terik langsung terlihat seperti lampu taman saja di mata Rio. Setelah sedikit menganga, untuk menyembunyikan kekagumannya Rio segera menyambar tasnya dan pamit kepada Ibunya. Ia langsung menyalakan motornya dan membuka gerbang. Tujuan mereka berdua siang ini hanya satu: Puncak. Malam nanti merupakan momen yang benar-benar patut dirayakan, pikir Rio dalam hati.
Yamaha Vixion biru itu segera membelah jalan raya Pamulang. Di atasnya muda-mudi dengan angan menikmati suasana malam pergantian tahun di tempat yang tidak biasa. Yang spesial, menurut Rio. Sedangkan Dina, langsung menyetujui kata “sekali-kali” dari Rio ketika kemarin mereka merencanakan perayaan tahun baru via Blackberry Messenger.
“Bakar ayam di rumahku aja, yuk,” bujuk Dina.
“Yah. Kalau acara bakar-bakaran sih hampir tiap malam tahun baru halaman belakang rumahku mengepul. Aku mau yang lebih spesial, Din. Cuma untuk kamu. Untuk kita berdua.”
“Iya, sekarang bakar-bakarannya kan jadi spesial karena ada aku… ;p”
“Ya udah, aku sih tetep mau berangkat ke puncak.”
“Keukeuh ni yaa?... Lagian nanti nginepnya di mana coba?”
“Di sana tuh ada rumah teman lamaku. Di Ciawi. Makannya aku mau ke sana sekalian mau main ke rumahnya. Udah lama aku ga ke sana. Sekali-kali aja kok Din.”
“Oke deh kakaak…. Aku udah ngantuk. See you.”
Rio kembali memacu motornya. Yamaha Vixion berwarna biru metalik itu melesat membelah jalan panjang Parung. Tapi Rio sesekali harus memelankan laju motornya untuk mendengar apa yang diucap Dina. Tak jarang Rio berceloteh tentang teman-teman kampusnya, adiknya, atau laptopnya yang penuh virus. Dan Dina menimpali dengan cekikikan panjang. Sesekali membuat Dina harus melepas maskernya agar bisa melepas tawa. Dina pun begitu. Hampir sudah semuanya ia ceritakan di atas jok ramping Vixion itu. Teman-teman kampus (bukan geng rumpi karena Dina tidak terlalu suka ngerumpi), teman-teman virtual di Twitter, satu-persatu anggota keluarga di rumahnya, serta semua komentar emosionalnya masing-masing. Sambil terus focus melihat ke depan Rio menyautinya dengan senyum-senyum kecil. Mereka berdua amat menikmati perjalanan itu.
Tak terasa Vixion biru itu mulai memasuki Kota Bogor. Di papan selamat datang tertulis besar-besar: Bogor Kota Beriman. Obrolan renyah itu diselingi angin Kota Bogor yang sudah mulai dingin karena matahari mulai terbenam di barat. Garis horizontal di bagian barat Kota Bogor yang kini terlihat dibelakangi gedung megah salah satu pusat perbelanjaan mulai membentuk gradasi warna ke atas: merah-oranye-kuning-biru. Dina yang sedang membayangkan dataran tinggi Puncak tiba-tiba mengasosiasikan ingatannya tentang Gunung Gede.
“Eh, si Devi gimana kabarnya ya?”
“Kok, kamu tiba-tiba nanya hal yang ga penting kaya gitu sih?”
“Bener ni, ga penting? Aku lagi inget Gunung Gede aja tadi. Eh, jadi kepikiran si Devi, anak Mapala yang katanya suka sama kamu.”
“Sudah, lah. Itu kan masa lalu. Aku kan sudah janji, ga bakal ngulangin lagi.”
“Tapi kalau belum kepergok SMS-an, sekarang masih lanjut ga yaa?...”
“Ya, enggak lah. Aku kan sayangnya Cuma sama Dina,” ujar Rio sambil tangan kirinya menggapai ke belakang, mencoba mengelus pipi Dina.
Yang berusaha dielus malah menggigit pelan. “Gombal.”
“Aduwh. Iya. Ampun deh. Enggak lagi.”
“Sekalian review kesalahan kamu di 2010, tauk.”
Percakapan itu sedikit-banyak mempengaruhi suasana hati Dina. Ia tidak lagi semangat ngobrol seperti sebelumnya. Angin malam Kota Bogor membantunya kembali rileks dan tenang. Dina tertidur.
Sampai di pasar Ciawi Rio membangunkan Dina. Jam di ponsel Dina menunjukkan pukul 20.10. Udara semakin sejuk. Dingin lebih tepatnya, tapi itulah Dina yang lebih suka menerima segala sesuatu dengan pikiran positif.
“Ini pasar Ciawi, lain? Ga mampir ke rumah teman kamu dulu?” tanya Dina.
“Nanti aja. Temanku juga katanya lagi di Puncak.”
“Emmh. Kenapa kita ga nonton kembang api di sini saja? Kamu ga lihat tuh, macet kaya gitu?” ujar Dina sambil menunjuk jalanan menanjak di hadapan mereka yang penuh oleh sepeda motor dan mobil-mobil angkutan umum.
“Tenang. Masih keburu, kok. Ini kan masih jam setengah Sembilan. Lagi pula kata temanku di Puncak pesta kembang apinya akan lebih meriah.”
Vixion biru itu terus melaju. Mereka berdua terus menanjak ke atas. Hanya satu yang dituju: Puncak. Sebenarnya cuma Rio yang semangat untuk sampai ke Puncak. Sedangkan Dina masih berusaha menebak-nebak mengapa Rio sangat ingin sampai di sana. Dan satu-satunya alasan bagi Dina adalah agar tidak mengecewakan lelaki yang ia cintai itu.
Kendaran begitu padat memenuhi badan jalan menuju puncak. Ada bus patas antar provinsi, bus besar pariwisata, mobil-mobil kapsul, bus mini Hiba Utama, dan ratusan sepeda motor tumpah ruah di jalan raya Puncak yang cukup lebar itu. Tidak terlalu lebar sebenarnya. Namun karena malam itu diberlakukan sistem satu jalur jalan itu terlihat cukup lebar. Rio menarik tuas gas motornya berkali-kali, merespon celah kosong di depannya yang maju sedikit-sedikit. Malam ini sungguh spesial. Kita akan menginap di sebuah vila, Dina, bisik Rio dalam hati dengan semangat. Ternyata itulah niat Rio sebenarnya mengajak Dina ke tempat ini. Rio semakin bersemangat ketika di pinggir jalan mulai banyak bapak-bapak, pemuda, bahkan anak-anak yang menjajakan vila. Yang sejak kemarin ia sebut sebagai “temanku” atau “teman dekatku” sebenarnya juga tidak ada. Hawa nafsulah yang menjadi teman setianya selama ini, menempel terus di kepalanya.
“Din, malam ini kita menginap di vila saja ya?”
“Enggak, ah. Dari kemarin kan kamu bilang mau menginap di rumah temanmu. Tadi bukannya mampir dulu untuk memastikan.”
“Iya. Sekarang aku justru lost contact dengannya. Gangguan jaringan sepertinya.”
“Pokoknya aku enggak mau!” entah kenapa Dina kembali mengingat pesan Ibunya agar ia bisa menjaga dirinya, “Pandai-pandai menjaga diri ya, naak.”
“Kamu mau kita langsung pulang malam ini juga, begitu?”
“Ya iya, lah. Kan ga ada judulnya kita nginep bareng di vila.” Entah kenapa Dina tidak dapat berpikir positif sekarang. Ia langsung mengasosiasikan kata vila itu dengan hal-hal negatif yang pernah ia dengar dari teman-temannya (satu-dua temannya bahkan menceritakannya dengan bangga).
“Ya, sudah. Kita pulang.”
Di belakang Rio, Dina sesenggukan menahan tangis. Mengeja nafasnya. Tapi tidak lagi ketika mereka melewati jalan pulang yang lengang. Satu-dua kembang api mulai bermekaran menghias gulita malam. Satu kembang api meluncur deras ke atas melawan gravitasi, mekar menjadi lima cabang cahaya, setiap cabangnya bermekaran lagi menebar putik-putik cahaya kecil yang indah. Sekarang puluhan. Saling menyusul membentuk guratan indah di langit. Warna-warni. Ikut mewarnai hati Dina. Dina berdoa semoga cahaya kembang-kembang api itu tak putus menemaninya sampai Jakarta.
Komentar