Langsung ke konten utama

Ada Setan

   Kalo dipikir-pikir lagi, sepertinya aku bukan orang yang cukup beruntung karena dulu harus memutuskan untuk masuk ke tempat ini. Tapi naasnya udah dua tahun aku di sini. Ga ada yang bisa dibanggain selain aku adalah angkatan pertama di kampus ini. Tunggu sebentar. Memang itu bisa dibanggakan ya? Sayangnya aku juga tidak tahu. Masuk lewat gerbang depan yang cukup lebar, terlihat jejak kotor roda-roda truk besar pengangkut pasir dan truk pengangkut alat berat. Ya, di sini memang sedang ada proyek pembangunan gedung perkuliahan baru, gedung 50 tingkat katanya.
   Sampai di pintu masuk kelas, benar saja, 10 orang temanku sudah duduk rapih di deretan kursi yang membentuk setengah lingkaran. Pantulan cahaya pintu kelas yang dibuka ke dalam membuatku dapat melihat isi kelas. Di hadapan mereka duduk wajah menantang Pak Mulya, dosen Tipografi. Kulihat jam digital yang tampil di layar ponsel, pukul 08.03. Sudah lah, yang penting masuk.
   “Pagii, pak,” kataku sambil mencari bangku kosong.
   “Ya, silakan masuk. Kali ini kumaafkan kau. Besok-besok tiada lagi itu. Di jadwal kan kita mulai jam setengah delapan. Nah, kita sudah buat itu perjanjian batas kehadiran adalah pukul 08.00. Selebihnya terhitung absen di jam pertama.”
   Iye, tenang aja pak. Besok gua pasti dateng tepat dah. Jam delapan. Ujarku dalam hati sambil sedikit tersenyum dan mengangguk pelan. Sekedar informasi, dosen yang satu ini adalah tipe orang yang harus disahutin kalo lagi ceramah. Karena semakin kita terlihat antusias semakin ceria dan cerah parasnya. Masalahnya semakin lama pula dia ngoceh.
***
   Selesai juga mata kuliah tipografi itu. Bersama Yadi dan Fani tak akan kulewatkan gado-gado pedas Emak pagi ini di kantin. Di bawah pohon rindang kami bertiga duduk di bangku berderet yang kerasnya hampir sama kayak bangku Metromini, menunggu gado-gado buatan Emak sambil diskusi seputar kampus. Fani yang paling aktif di antara kami bertiga tak bosan menyuguhkan berbagai tema yang kalau ga salah udah dua-tiga kali dia ucap.
   “Gimana si nih kampus. Pudir tiga koar-koar ke gua buat ngadain pementasan yang meriah. Tapi dana yang diajuin ga kunjung turun,” ujar Fani.
   “Emang kapan lu kasih proposalnya?” sahutku penasaran.
   “Dua bulan yang lalu. Nah, sekarang tuh udah mau mulai acaranya Nggi.”
   “Emang lu ngajuin dana berapa?”
   “18 juta.”
   “Buset. Lu mau main di TIM? Apa Senayan? Yang lu adain itu bukannya acara kampus yah?”
   “Iya, tapi dana segitu wajar kok kata pelatih gua. Buat pelatihnya sendiri aja minta lima juta. Belom setting kostum, panggung dan lainnya.”
   “Emmhh. Jadi dana segitu enggak gede ya kalo di teater?” sahut Yadi yang kali ini pengin ikutan.
Fani melihat ke arahku dan aku hanya bisa menaikkan alis dan tersenyum simpul. Artinya kurang lebih: may be yes, may be no.
   Gado-gado dataang. Lambungku yang sedari tadi di kelas kedinginan sepertinya kegirangan. Kami bertiga dengan sigap langsung menyambarnya dengan sendok. Seperti biasa bila makan bersebelahan dengan Yadi, aku harus bergeser sedikit, menjaga jarak aman dari Yadi yang membutuhkan spasi khusus untuk kedua tangannya yang menyirip ke samping. Kepalanya menunduk, menghadapi piring dengan serius.
   Sambil makan dengan lahap, telingaku ternyata menangkap ada pembicaraan menarik di seberang meja kami. Di meja pojok kiri kantin sekumpulan pegawai, entahlah pegawai apa, berbincang seru. Yang satu yang paling vokal menyahut, “Iya, gedung yang ini mah jangan ditanya. Kemarin aja peserta diklat ada yang laporan lagi, masak malem-malem ada suara orang lagi mandi terus pas disamperin eh ga ada siapa-siapa, saya langsung lari aja, kata dia. Angker emang gedung yang satu ini. Satpam banyak banget tuh cerita tentang gedung ini.”
   Ah, masak sih? tanyaku dalam hati. Gado-gado di piringku sebentar lagi habis. Sedangkan Yadi, jangan ditanya, dua gelas plastik teh tawar sudah diteguknya dan kini ia bersiap menyulut sebatang Gudang Garam Filter yang sudah dijepit bibirnya.
   “Eh, ssttt...,” aku melirik ke arah Fani yang gado-gadonya belum habis juga. Tadinya aku juga mau ngebisikin Yadi. Tapi takutnya nanti dia langsung menjawab lantang, “Apaan sik?” ketika salah satu momen indah dalm hidupnya terganggu. Jadi kubiarkan saja dia melayang bersama asap tembakaunya.
   “Kenapa Nggi?”
   “Lu lihat bapak-bapak yang di depan kita kan?”
Fani mengangguk.
   “Coba dengerin deh. Perhatiin diem-diem.”
   Setelah agak lama Fani menyahut, “Kok ada kata-kata nenek tua, rambut panjang, tukang nasi goreng, kayak gitu sih? Eh, sebentar. Mereka kayaknya lagi ngomongin setan deh. Kayaknya ada setan di kampus ini.”
   “Ah, gua ga percaya Fan. Gua kan belum pernah lihat yang begituan.”
   “Gua juga sih. Tapi aslinya kan emang ada mahluk kayak gitu.”
   “Emang lu udah pernah lihat?
   “Udah.”
   “Di mana?”
   “Di tipi.”
   “Yeeeh.”
   “Eh, tapi kalo denger udah pernah gua.”
   “Di mana?”
   “Di radio. Hehehe...,” katanya sambil tersenyum manis.
   “Pada ngomongin apa sih? Ngomongin gua yak?” ujar Yadi ga mau ketinggalan.
   “Tau aja ya Yadi dari tadi diomongin,” jawabku sambil menggeleng.
   “Tapi masih penasaran nih gua Nggi. Gimana kalo kita buktiin aja, yang mereka omongin itu bener ga sih.”
   “Yang mereka omongin itu gedung kelas kita Fani,” ujarku mengantisipasi niat gila teman tomboyku yang satu ini.
   “Iya. Justru lebih gampang dong?”
   Aduh salah pake jawaban nih. “Yah, tapi ....”
   “Ga ada tapi tapi-an. Cemen amat sih lu. Lagian memang ga penasaran lu? Kali aja nanti bisa lihat-lihat sedikit wujud setan. Udah, nanti malem jam tujuh kita ke sini. Bilang aja ada tugas yang ketinggalan.”
   Emmhh, salah ni ngasih tahu soal misteri sama cewek tomboy kayak begini. Gua lupa kalo dia itu tipe cewek yang menyukai tantangan. Dan sekarang, karena salah ngajak ngobrol orang, jadilah gua partner uji nyalinya.
***
   Setelah berdiplomasi sebentar dengan Satpam di pos depan, kami bertiga akhirnya ada di sini, di dalam kelas kami. Fani menyalakan lampu kelas, membuat suasana tidak terlalu mencekam seperti ketika kami mencoba naik tangga ke lantai tiga ini. Gokil, ujarku dalam hati. Kami bertiga hanya duduk di bangku kelas. Saling memandangi.
   “Udah kan, Fan? Ga ada apa-apa,” kataku memecah kesunyian.
   “Iya, Fan. Gua juga udah ngantuk,” Yadi menimpali.
   “Baru juga sampai. Nah, ini kan baru ruang kelas kita. Ruangan yang lain belum,” jawabnya sambil mengernyitkan jidatnya. Artinya kira-kira: masih berani?
   “Ya udah, tapi tiga ruangan aja ya?” jawabku bernegosiasi.
   “Enggak ah. Lima pokoknya.”
   Huh, lagian kepinteran juga ni Satpam, mencantunkan label nama ruangan di setiap kunci. Rentetan kunci itu kini ada di tangan Fani. Satpam yang masih muda itu akhirnya takluk oleh sebungkus Djarum Super dan tampang memelas Fani setelah sebelumnya alasan ingin mengambil buku yang ketinggalan di kelas ditolak. Aku pun tak habis pikir. Kenapa bisa berteman dengan cewek seperti ini sejak semester satu ya? Setelah diajak naik gunung tiga kali, permintaan yang satu ini memang terlihat sepele, tapi setelah kupikir lagi ini adalah kegiatan yang cukup menegangkan. Bagaimana tidak, dibantu cahaya dari layar handphone kami menyusuri lorong gelap sambil memperhatikan kiri-kanan, depan-belakang kalau kalau ada sekelabat kain putih dengan taring tajam.
   Sekarang ruangan kelima. Berarti yang terakhir.
   “Ke mana ni sekarang Fan? Udah yang terakhir ni,” ujarku.
   “Emmh, gimana kalau ruang A.3? Nih yang ini,” tanyanya sambil menunjuk pintu yang ada di hadapan kami.
   “Hah. Udah gila lu ya? Ini kan ruangan Pudir tiga bidang kemahasiswaan.”
   “Iya, ada bacaannya tuh: Bidang Kemahasiswaan,” sahut Yadi.
   “Tenang aja. Gua tanggung resikonya dah,” jawab Fani.
   Kami bertiga masuk ke dalam. Belum jauh ke dalam Yadi menyenggol rak arsip hingga salah satu map terjatuh.
   “Coba handphone lu Nggi,” ujar Fani.
   “Apaan tuh Fan?”
   “Ini dia nih yang mahasiswa harus tahu,” ujar Fani sambil mengangkat map hijau itu.
   “Emang itu apaan?” kataku masih penasaran.
   “Nih lihat.”
   Dengan penerangan minim dari layar ponsel, judul yang semuanya huruf kapital terbaca cukup jelas: Anggaran Dasar Kegiatan Kemahasiswaan 2010. Berurutan ke bawah tertulis nama-nama UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa) dan KKM (Kelompok Kegiatan Mahasiswa) serta rincian pengeluaran bagi setiap kegiatan yang akan dilaksanakan oleh Bagian Eksklusif Mahasiswa. Di baris keempat tertulis nama UKM Sanggar Teater Maja yang mendapat alokasi dana 10 juta dalam setahun.  Masih banyak nama yang lain yang selama ini belum melakukan kegiatan apa-apa. Tak diragukan lagi, ini pasti dokumen rahasia. Di baliknya, kertas-kertas kwitansi dan bukti pembayaran bertumpuk-tumpuk. Kalau boleh berprasangka buruk, ini sepertinya kwitansi serta bukti-bukti pembayaran palsu yang sengaja dibuat untuk melengkapi laporan keuangan.
   “Ini benar-benar ga bisa dibiarin,” ujar Fani singkat dan lugas.
   “Eh, mau lu bawa ke mana itu dokumen? Main bawa aja. Nanti ketahuan bagaimana Fan?” tanyaku heran.
   “I’ll take the risk.”
   “Heh, foto aja kenapa. Foto. Foto pake hape,” ujar Yadi.
   “Wah, jadi pinter lu sekarang. Iya bener, bener,” jawab Fani senang. “Kan sekarang jadi ada buktinya kalau ternyata benar, di kampus ini ada setan!”
***
   Hari ini aku duduk di sini, di kelas yang terlalu dingin karena AC-nya tidak bisa lagi diatur. Aku duduk bersam sembilan orang temanku. Bukan lagi sepuluh karena Fani sudah dikeluarkan dari kampus dengan tuduhan mencemarkan nama baik institusi. Dan aku duduk di sini bersiap menghadapi UAS. Lembaran soalnya baru saja dikeluarkan dari amplop coklat. Masih hangat, baru keluar dari mesin fotokopi. Jujur saja, aku tak bisa fokus menjawab soal-soal di hadapanku. Saat ini di ponselku masih tersimpan foto-foto yang diambil malam itu. Harus aku simpan, buang, atau aku serahkan ke mana foto-foto ini? Yang paling penting, harus aku simpan di mana dua telingaku yang mulai meruncing ke atas dan dua tanduk yang mulai muncul dari balik rambutku ini?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hati Berproses

Waktu bergulir begitu cepat seperti debu yang merambat. Sesekali dapat terlihat dari celah sinar mentari yang masuk ke rumah. Debu berterbangan bebas tanpa arah. Namun itu menurut kita. Seperti waktu, debu dihadirkan dengan takdirnya mengikuti arah angin yang membawanya. Bisa menempel di pohon-pohon, bisa menempel di celah bangunan pencakar langit, bisa juga mengendap di lorong dapur tempat ibu biasa memasak. Maka waktu, meski bukan sekumpulan zat organik yang terbang bebas di sekitar kita, ia adalah jatah yang kita miliki, jatah keluasan udara yang kita rasakan saat ini. Wahai sang pemilik waktu, izinkanlah aku hanya berdoa kepada-Mu. Wahai pemilik bulan november yang menakjubkan, ada seorang anak kecil yang sedang berproses disana. Sejak kecil ia adalah wanita yang pandai menjaga dirinya. Seorang yang suci dan tak mudah terdistraksi. Sikapnya yang bijaksana melapisi tubuh mungilnya. Proses menentukan hasil. Semoga jiwa besarnya mengantarkan ia ke level selanjutnya.

Setan

Kutulis ini setelah aku bercengkerama dengan setan. Tak ada kebohongan tersirat dari wajahnya. Dia berkata seolah tak pernah ada yang mendengarnya. "Dunia ini hanya tinggal sisanya saja," katanya. Antara ada dan tiada aku pun memercayainya. Sisa dari apa? Aku pun tak paham. Namun begitulah dia beserta sifatnya. Berusaha membisikkan kuping manusia dengan kejahatan, meski itu bukan suatu kebohongan. Ya, kejahatan memang sudah lama merasuk dalam setiap sendi kehidupan umat manusia. Bercokol dalam dusta setiap ruh yang memakmurkannya. Tak ada bisa, tahta pun jadi. Kursi kekuasaan mampu melegitimasi nasib lebih-lebih daripada bisa meluluhlantakkan kancil yang arif. Sudah lama cerita ini menggema. Berulang terus dalam beberapa kisah berbangsa dan bernegara. Bukan hanya di atas saja. Dampak kuasa itu terus menjalar ke aliran selokan-selokan di bawah jalan raya ibu kota. Pengemis berdasi bergelimpangan memenuhi zona kapitalisasi ekonomi yang tak pernah lagi sama. Tipu muslihat tel
Sudah lama sepertinya saya tidak menulis di media ini. Sumpah, susah tau menuang isi pikiran ke dalam tulisan semacam ini. Terakhir kali nulis di blog ini tahun 2018 dan sekarang sudah 2023! Lama juga ya. Sedikit cerita kenapa saya bisa nulis lagi di blog ini adalah disebabkan satu keputusan salah yang saya buat di tahun 2022, yaitu membeli MacBook Air M1 yang harganya jauh lebih mahal dari laptop windows kebanyakan. Iya, saya salah karena sebetulnya saya belum mampu beli device ini secara cash. Haha. Saat ini alhamdulillah saya sudah menikah & memiliki seorang anak. Anak perempuan lucu bernama Zhafira. Jadi lima tahun saya tapa menulis blog ini adalah waktu panjang yang saya isi dengan keputusan-keputusan penting dalam hidup. Menyukai perempuan - menikah - punya anak: itu sungguh pilihan penting yang akan mengubah seluruh hidupmu. Mengubah pandanganmu terhadap realitas dunia yang sedang kamu jalani, mengubah orientasi nilai-nilai yang kamu dapatkan & harapkan.  Mungkin bagi ya