Langsung ke konten utama

Untuk Apa

   Papan kayu yang menampilkan barisan huruf kapital yang sepertinya terbuat dari emas tergeletak di atas meja kayu yang megah. Papan itu bertuliskan: Menteri Pendidikan Nasional. Di belakang meja, sedang duduk anggun seorang bapak-bapak yang belum terlalu tua. Mungkin masih 50-an umurnya. Kerut di wajahnya bukan menunjukkan kalau dia sudah punya cucu, melainkan lebih menandakan berbagai aral rintang kehidupan yang telah banyak dilaluinya. Rambut depannya pun sudah mulai menipis. Satu-satunya yang membuatnya gagah adalah baju dinas kebesarannya, yang hanya dipakainya untuk berkantor dan mengunjungi sekolah-sekolah gratis yang telah berhasil diwujudkan. Setelah seharian penuh ia menghabiskan harinya dengan rapat koordinasi, rapat evaluasi Undang-undang baru, dan lain sebagainya, entah mengapa ia tertarik dengan buku kusam yang dimasukkannya ke tas tadi pagi sebelum berangkat ke kantor. Ketika ia membuka halaman demi halaman dengan acak, tak sengaja ia temukan selembar foto perempuan manis berjilbab di halaman 22. Bapak berkumis tipis yang teduh wajahnya itu segera mempersilakan akalnya membawanya ke masa lalu.
   “Kuujalaani apa adaanya, aaku baahaagia. Beebas leepas taanpa beeban, aaku meerdeeka,” lagu reggae lamat-lamat terdengar dari loudspeaker telepon genggam Miko. Ia tak sendirian duduk di dalam salah satu kios yang kosong karena belum ada penyewanya itu. Bersama tiga temannya yang biasa bersamanya, Roy, Deki, dan Gepeng, Miko duduk santai di situ. Kantin kampus, di sanalah tempat mereka berempat berkumpul, melepas gundah, dan membuang lelah – oh, bukan, mereka tak pernah lelah karena hampir-hampir mereka tak pernah melakukan apa-apa selain berangkat ke kampus, kuliah sebentar, lalu berkumpul di kantin. Bagi mereka, tak ada tempat yang lebih mengasyikkan di kampus selain kantin. Kios kosong itu laksana ruang privat bagi mereka bila jam istirahat tiba karena hanya di situlah mereka bisa berkumpul dan berceloteh ria tanpa harus diperhatikan orang lain.
   Satu tahun sudah Miko menjalani masa kuliahnya yang seperti itu. Setiap hari selalu ada topik baru yang mereka perbincangkan, mulai dari macam-macam teman sekelas mereka sampai macam-macam masalah pribadi mereka. Namun, materi kuliah dan isu-isu saintifik jarang sekali terdengar dalam perbincangan di kios kosong itu. Sayang sekali, tak ada hal baru yang mereka lakukan selain rutinitas semacam itu. Hingga pada semester tiga, datanglah para mahasiswa baru yang segera mengenal kebiasaan kakak kelas mereka itu. Tak ayal, mereka berempat pun punya kegiatan ekstra, duduk santai di kios yang masih juga kosong sambil menyoroti adik-adik mahasiswi yang kebetulan manis-manis dari kejauhan.Sampai pada suatu siang, Miko yang sedang menikmati kegiatan ekstra itu tertegun dengan seorang mahasiswi yang sedang berjalan ke kantin dari arah perpustakaan. Perempuan cantik berjilbab itu ternyata mahasiswi baru yang baru sempat Miko lihat karena ia selalu ada di perpustakaan bila tiba waktu istirahat siang atau kelasnya sedang kosong. Tak lepas-lepas mata Miko menatap mahasiswi baru itu hingga tidak kelihatan lagi tertutup tembok pembatas kios. Tiba-tiba seperti ada sepercik api yang disebabkan arus listrik pendek di dalam hatinya. Begitu pun ketika perempuan manis itu kembali berjalan ke perpustakaan, gemuruh laksana musibah longsor yang mengguyur hatinya tak dapat dielakkan. Namun, Miko sendiri tak tahu, perasaan apa yang sedang menghujaninya itu.
   ”Woi! Bengong aja. Ngeliatin siapa siik?” tegur Roy ketika mendapati Miko memandang lurus tak berkedip.
   ”Ah, mau tau aja lu. Tapi sumpah, gua baru liat loh, cewek secantik itu. Parah, extreme itu mah cantiknya.”
   ”Ya elah, ampe segitunya Mik. Yang mana sih ceweknya?” saut Gepeng yang lagi facebook-an di BB Deki.
   ”Gua juga baru liat sih peng. Makannya gua sampe kaget begitu.”
   ”Ya udah, kali ini jangan ngomong doang lah. Kalau ’gak ada geraknya sih percuuma,” kali ini Deki ikut berkomentar.
   ”Tau lu Mik. Enggak bosen lu ngejomblo terus begitu? Gerak laah. Keburu disamber orang loh,” Roy menimpali.
   ”Iye, iye. Berisik lu pada. Ya udah gua cabut duluan ya.”
   “Mau ke mana lu Mik?” Tanya Roy.
   “Perpus.”
   Sambil mengalungkan tasnya di pundak kanannya Miko berjalan ke arah perpus. Yang terlihat oleh teman-temannya hanya tas dan punggung Miko yang makin menjauh. “Mudah-mudahan saja perempuan itu masih ada di perpustakaan,” begitu pikir Miko. Benar saja. Ketika Miko membuka pintu kaca perpustakaan, perempuan berjilbab itu sedang duduk di depan komputer perpustakaan nomor tujuh. Monitor-monitor itu berdiri tegak di atas meja komputer yang melingkar. Miko pun memberanikan diri menyalakan komputer nomer enam.
   “Wireless-nya lagi enggak bisa ya kak?” tanya perempuan itu tiba-tiba. Mahasiswi baru itu bertanya kepada yang paling dekat dengannya karena kesal sudah ia sedari tadi mengutak-atik koneksi internet komputer di depannya.
   “Eh, iya nih kayaknya. Dicoba aja dulu satu-satu,” jawab Miko dengan sedikit gugup. Namun, segera ia kembali menguasai dirinya. Begitu saja percakapan itu dimulai. Miko dengan kepercaan diri yang ia atur sedemikian rupa, melanjutkan percakapan itu menjadi obrolan yang cukup panjang. Sampai akhirnya, kumandang azan zuhur menghentikan angan Miko berderu lebih panjang lagi.
   "Eh, aku ke masjid dulu ya kak," ujar Husna menutup percakapannya dengan Miko siang itu di perpustakaan kampus.
   Ya. Miko akhirnya mengenal nama perempuan yang mampu membuat jantungnya deg-deg-ser seperti itu. Ia pun lalu merasa menjadi kesatria langit yang telah menyelesaikan misi yang diberikan oleh Zeus. Hatinya kini lapang. Ia berhasil meluluhkan kekecutannya yang biasa muncul ketika menemui wanita yang ia suka. Ia berasa menjadi Perseus yang berhasil memenggal kepala Medusa dalam kisah yunani kuno. Dari percakapan yang dilakukan sambil menatap monitor komputer itu, Miko berhasil mengetahui alamat twitter dan facebook Husna. Dan dari sanalah nomor handphone Husna akan didapat, begitu pikir Miko dalam hati.
***
   Hari terus berganti. Detik jam terus mengalun berputar, tak peduli ia sedang diperhatikan atau tidak. SMS dan pulsa pun terus bergulir menyelimuti kegundahan dan angan indah Miko. Tak terasa sudah hampir dua bulan mereka berdua akrab via handphone seperti itu. Namun, bila suatu kali mereka bertemu di tempat yang sama, hanya satu-dua kata yang dikeluarkan untuk menegur. Entah hubungan model apa yang mereka jalani. Setiap kali Miko mengajak Husna jalan keluar bersama, selalu ada balasan yang efektif menolak ajakan Miko dengan halus. "Enggak capek memangnya udah seharian jalan dari rumah ke kampus, jalan-jalan di kampus, sampai di rumah mau jalan-jalan lagi. Lagi pula sudah malam begini kakak mau ke mana?" begitu jawaban Husna ketika suatu hari sepulang kuliah Miko berusaha mengajak Husna dinner di Detos. Atau, kalau Miko mengajaknya pada akhir pekan, "Aku sedang bantu Ibu, kak," begitu selalu jawab Husna.
   Meski demikian, Miko tak pernah sekalipun merasa bosan berusaha mendekati Husna, berkomunikasi dengannya walaupun secara tidak langsung. Kegiatan ini pun membawa dampak pada kehidupan Miko di Kampus. Miko jadi sering ke perpustakaan. Ia pun jadi tertarik untuk membaca - seperti yang selalu dilakukan Husna, entah itu majalah atau koran, biasanya ia langsung membuka halaman belakang tempat rubrik olah raga. Minggu-minggu belakangan ini hanya pada sore hari seusai kuliah ia terlihat di kantin. Tidak seperti sebelum ia mengenal Husna. Jadilah ia sering dicibir temannya karena jarang lagi berkumpul bersama mereka.
   "Yang udah dapet pacar wong arab mah beda ni sekarang," kata Deki ketika suatu siang Miko mencoba ikut ngeriung lagi.
   "Belum kali."
   "Belum dapet juga?" saut Roy antusias.
   "Susah, gila."
   "Hahaha.... Elu sih, siapa suruh nyari pacar yang model begituan," ribet 'ndiri deh akhirnya.
   "Hmmhh, iya nih, baru kali ini gua suka sama yang ribet-ribet kaya begini.Ya udah gua cabut dulu yak."
Akhir pekan kali ini, Miko surut mengajak Husna jalan ke luar. Ia sudah tahu jawabannya. Maka kali ini yang dapat dilakukan Miko hanyalah tidur tengkurap di lantai berkutat dengan tugas kuliahnya yang harus dikumpulkan Senin nanti. Sedang asyik merangkai kata di atas keyboard laptop milik ibunya, Miko tersadar akan handphone-nya yang bergetar seketika. “Mik, Husna dirawat di Rumah Sakit Zahirah. Cepat ke sini.”  SMS itu dari Syifa, sahabat Husna. Laptop tidak sempat di-shutdown, dan ia sudah ngacir dengan Honda Scoopy-nya.
   “Bagaimana keadaan Husna?” Kenapa dia?” tanya Miko bertubi-tubi.
   “Tadi, kata ibunya, dia mau main ke rumahku. Lalu…, laluu….”
   “Kenapa? Ada apa fa?”
   “Di tengah jalan, Husna disamber sama Kijang Innova dari arah berlawanan ketika dia mencoba menyalip truk tanker Pertamina.”
   “Bukannya dia selalu naik motor sama kamu? Kenapa ‘ga kamu jemput?”
   “Aku tahu setiap pulang kampus selalu aku yang mengantarnya sampai ke rumah karena rumahnya memang satu jalur dengan arah aku pulang dan karena ia belum bisa naik motor. Tapi, pernah kok aku mengajarinya naik matic beberapa kali. Namun, entah mengapa kali ini dia mau ke rumahku sendirian. Uh, hu hu…,” Syifa menjelaskan sambil berlinangan air mata.
   Miko hanya tertunduk lesu, duduk di bangku empuk yang berderet di lorong depan ruang unit gawat darurat. Cemas dan tegangnya tak kalah dengan orang tua Husna yang duduk dua bangku di sebelahnya. Syifa tak lain daripada terus menitikkan air mata sambil sesenggukan. Dokter pun keluar saat jam dinding menunjukkan pukul 22.00. Wajah bapak dokter itu lesu lunglai seperti habis mengikuti ajang olimpiade cabang lari 100 meter dan keluar sebagai juara terakhir.
   Di pemakaman, di samping pusara Husna yang sudah sepi karena tinggal ia seorang di situ, Miko berniat sepenuh hati untuk mengubah arah hidupnya.
   Seorang bapak berumur 50-an itu matanya kini digenangi air. Air itu menggenang seiring ngilu yang ia rasakan dalam hati kecilnya. Hanya satu yang ia tak pernah lupa dari perempuan cantik berjilbab yang sedang ia pegangi fotonya itu. Sambil bercanda berdua dengannya di perpustakaan, perempuan itu pernah berkata, “Hidup itu untuk apa sih kak?” Lama tak ada jawaban, perempuan itu meneruskan, “Ya sudah, kalo enggak tau, untuk apa hidup?” Bapak yang terlihat belum terlalu tua itu tersenyum getir. AZ.

Komentar

Depok Smart Detox mengatakan…
Asik dah asik ka Jais....
Di tunggu karya Selanjutnya...

Postingan populer dari blog ini

Hati Berproses

Waktu bergulir begitu cepat seperti debu yang merambat. Sesekali dapat terlihat dari celah sinar mentari yang masuk ke rumah. Debu berterbangan bebas tanpa arah. Namun itu menurut kita. Seperti waktu, debu dihadirkan dengan takdirnya mengikuti arah angin yang membawanya. Bisa menempel di pohon-pohon, bisa menempel di celah bangunan pencakar langit, bisa juga mengendap di lorong dapur tempat ibu biasa memasak. Maka waktu, meski bukan sekumpulan zat organik yang terbang bebas di sekitar kita, ia adalah jatah yang kita miliki, jatah keluasan udara yang kita rasakan saat ini. Wahai sang pemilik waktu, izinkanlah aku hanya berdoa kepada-Mu. Wahai pemilik bulan november yang menakjubkan, ada seorang anak kecil yang sedang berproses disana. Sejak kecil ia adalah wanita yang pandai menjaga dirinya. Seorang yang suci dan tak mudah terdistraksi. Sikapnya yang bijaksana melapisi tubuh mungilnya. Proses menentukan hasil. Semoga jiwa besarnya mengantarkan ia ke level selanjutnya.

Setan

Kutulis ini setelah aku bercengkerama dengan setan. Tak ada kebohongan tersirat dari wajahnya. Dia berkata seolah tak pernah ada yang mendengarnya. "Dunia ini hanya tinggal sisanya saja," katanya. Antara ada dan tiada aku pun memercayainya. Sisa dari apa? Aku pun tak paham. Namun begitulah dia beserta sifatnya. Berusaha membisikkan kuping manusia dengan kejahatan, meski itu bukan suatu kebohongan. Ya, kejahatan memang sudah lama merasuk dalam setiap sendi kehidupan umat manusia. Bercokol dalam dusta setiap ruh yang memakmurkannya. Tak ada bisa, tahta pun jadi. Kursi kekuasaan mampu melegitimasi nasib lebih-lebih daripada bisa meluluhlantakkan kancil yang arif. Sudah lama cerita ini menggema. Berulang terus dalam beberapa kisah berbangsa dan bernegara. Bukan hanya di atas saja. Dampak kuasa itu terus menjalar ke aliran selokan-selokan di bawah jalan raya ibu kota. Pengemis berdasi bergelimpangan memenuhi zona kapitalisasi ekonomi yang tak pernah lagi sama. Tipu muslihat tel
Sudah lama sepertinya saya tidak menulis di media ini. Sumpah, susah tau menuang isi pikiran ke dalam tulisan semacam ini. Terakhir kali nulis di blog ini tahun 2018 dan sekarang sudah 2023! Lama juga ya. Sedikit cerita kenapa saya bisa nulis lagi di blog ini adalah disebabkan satu keputusan salah yang saya buat di tahun 2022, yaitu membeli MacBook Air M1 yang harganya jauh lebih mahal dari laptop windows kebanyakan. Iya, saya salah karena sebetulnya saya belum mampu beli device ini secara cash. Haha. Saat ini alhamdulillah saya sudah menikah & memiliki seorang anak. Anak perempuan lucu bernama Zhafira. Jadi lima tahun saya tapa menulis blog ini adalah waktu panjang yang saya isi dengan keputusan-keputusan penting dalam hidup. Menyukai perempuan - menikah - punya anak: itu sungguh pilihan penting yang akan mengubah seluruh hidupmu. Mengubah pandanganmu terhadap realitas dunia yang sedang kamu jalani, mengubah orientasi nilai-nilai yang kamu dapatkan & harapkan.  Mungkin bagi ya