Langsung ke konten utama

Koran Gratis

   Angkutan umum menjadi representasi sederhana masyarakat kelas menengah ke bawah. Mengapa saya bisa berkata demikian? Itu karena hampir setiap hari saya pulang pergi kuliah dengan angkutan umum. Pengap dan seadanya adalah dua kata yang cukup mewakili kondisi kendaraan ini. Seusai kuliah, kali ini saya harus naik angkutan umum untuk pulang. Diantar teman sampai depan masjid Universitas Pancasila, saya menunggu bis kecil berwarna ungu yang akan mengantarkan saya ke Lebak Bulus. Setelah agak lama menunggu, bis yang telah penuh sesak itu pun datang dan mengangkut serta saya ke dalamnya.
   Tiba di terminal Lebak Bulus, bis ungu itu langsung dikerubungi oleh mobil-mobil angkutan umum jurusan Ciputat yang saya naiki salah satunya. Tak terasa saya sudah sampai didepan kampus UMJ. Berarti sebentar lagi akan tiba di pasar Ciputat, tempat angkutan-angkutan umum jurusan Pamulang nongkrong. Tak lama kemudian, mobil yang saya naiki masuk pasar Ciputat yang khas dengan kemacetan. Sampai di tikungan pertama di bawah fly over, para penumpang angkutan umum dibagikan selebaran koran berwarna latar biru. Ketika dibaca, saya baru tahu bahwa itu adalah bulletin yang sengaja dibagikan gratis untuk mengangkat Presiden berkuasa dengan segala tulisan seputar kinerja pemerintah yang dibilang sukses membantu rakyat kecil. Inilah salah satu bentuk promosi partai besar yang sudah banyak uang.
   Wah, hebat sekali presiden kita, itulah kata-kata yang terpancar dari wajah para penumpang sekeliling saya seusai membaca koran itu. Kampanye terselubung ini pun sukses mengelabui satu angkutan umum yang diisi oleh masyarakat kelas menengah ke bawah. Ketika tengah asik menyibak halaman per halaman koran, kami dikejutkan oleh masuknya anak kecil berusia sekitar enam tahun yang langsung duduk di pintu masuk angkutan umum. Bocah kecil dengan pakaian lusuh itu langsung menggoyang botol kecil berisi butiran beras di tangannya. Lagu pop yang sering tampil di televisi dan terdengar di radio pun dinyanyikan sebisanya. Tiba-tiba, ibu-ibu yang duduk di depan saya langsung memasang wajah acuh dan tidak suka. Wanita di sebelahnya menggantung senyum sinis, dan saya kembali menengok halaman koran gratis yang memberitakan kesuksesan pemerintah dalam menekan angka kemiskinan.
   Setelah anak kecil itu turun tanpa menerima sepeser pun dari kami, seorang ibu berseragam PNS yang tadi berwajah muram menjelaskan bahwa anak kecil yang tadi masuk sudah sejak lama menjadi pengamen jalanan di pasar Ciputat. Bahkan sejak anak kecil itu masih digendong kakaknya sambil mengamen dahulu, kata ibu gemuk depan saya. Realita yang terjadi di angkutan umum yang saya naiki hari ini sangat tidak istimewa. Namun, bila diperhatikan, ini adalah peristiwa yang persis selalu terjadi seusai masa kampanye Pemilu. Setelah kampanye berhasil dan presiden terpilih, kondisi rakyat masih sama dengan sebelum slogan-slogan kampanye bersebaran.
   Hal ini memang tidak aneh lagi terjadi di negeri ini. Ini dapat terjadi juga karena kebanyakan masyarakat masih berpikiran pragmatis dan belum tahu banyak tentang sistem politik di negeri sendiri. Ketika janji-janji digaungkan, masyarakat sangat asik menerima dan mendukungnya karena imbalan uang yang cukup untuk biaya hidup beberapa hari. Pada akhirnya, para parpol besar yang punya banyak uang sukses mensosialisasikan korupsi sebagai cara terbaik dalam menyelesaikan masalah. Saya hanya bisa bergidik takut kalau saja budaya pragmatis masyarakat bawah yang menyokong budaya korupsi masyarakat atas ini telah terjadi sejak kakek mereka lahir.
   Kita semua sudah tahu, politik pencitraan dan politik uang telah menjadi senjata efektif para parpol untuk meraih kekuasaan, termasuk parpol yang baru jadi sekalipun. Mungkin sah-sah saja setiap orang menampilkan citra pribadi yang diinginkan. Namun, bagaimana dengan pemimpin yang berusaha menampilkan citra palsu dengan motif meraih simpati dan dukungan? Di sisi lain, tempat tinggal kita ini telah benar-benar menjadi Negara kapitalis. Siapa yang bermodal paling besar, dialah yang menjadi penguasa. Mungkin hal ini pula yang menyebabkan IPM (Indeks Pertumbuhan Manusia) di negeri ini tidak lebih besar dari Palestina yang masih dijajah hingga hari ini. Kalau begitu, siap-siap saja, kemacetan pertumbuhan manusia akan menjadi ciri khas baru Indonesia bila budaya pragmatis ini tidak segera berakhir.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hati Berproses

Waktu bergulir begitu cepat seperti debu yang merambat. Sesekali dapat terlihat dari celah sinar mentari yang masuk ke rumah. Debu berterbangan bebas tanpa arah. Namun itu menurut kita. Seperti waktu, debu dihadirkan dengan takdirnya mengikuti arah angin yang membawanya. Bisa menempel di pohon-pohon, bisa menempel di celah bangunan pencakar langit, bisa juga mengendap di lorong dapur tempat ibu biasa memasak. Maka waktu, meski bukan sekumpulan zat organik yang terbang bebas di sekitar kita, ia adalah jatah yang kita miliki, jatah keluasan udara yang kita rasakan saat ini. Wahai sang pemilik waktu, izinkanlah aku hanya berdoa kepada-Mu. Wahai pemilik bulan november yang menakjubkan, ada seorang anak kecil yang sedang berproses disana. Sejak kecil ia adalah wanita yang pandai menjaga dirinya. Seorang yang suci dan tak mudah terdistraksi. Sikapnya yang bijaksana melapisi tubuh mungilnya. Proses menentukan hasil. Semoga jiwa besarnya mengantarkan ia ke level selanjutnya.

Setan

Kutulis ini setelah aku bercengkerama dengan setan. Tak ada kebohongan tersirat dari wajahnya. Dia berkata seolah tak pernah ada yang mendengarnya. "Dunia ini hanya tinggal sisanya saja," katanya. Antara ada dan tiada aku pun memercayainya. Sisa dari apa? Aku pun tak paham. Namun begitulah dia beserta sifatnya. Berusaha membisikkan kuping manusia dengan kejahatan, meski itu bukan suatu kebohongan. Ya, kejahatan memang sudah lama merasuk dalam setiap sendi kehidupan umat manusia. Bercokol dalam dusta setiap ruh yang memakmurkannya. Tak ada bisa, tahta pun jadi. Kursi kekuasaan mampu melegitimasi nasib lebih-lebih daripada bisa meluluhlantakkan kancil yang arif. Sudah lama cerita ini menggema. Berulang terus dalam beberapa kisah berbangsa dan bernegara. Bukan hanya di atas saja. Dampak kuasa itu terus menjalar ke aliran selokan-selokan di bawah jalan raya ibu kota. Pengemis berdasi bergelimpangan memenuhi zona kapitalisasi ekonomi yang tak pernah lagi sama. Tipu muslihat tel
Sudah lama sepertinya saya tidak menulis di media ini. Sumpah, susah tau menuang isi pikiran ke dalam tulisan semacam ini. Terakhir kali nulis di blog ini tahun 2018 dan sekarang sudah 2023! Lama juga ya. Sedikit cerita kenapa saya bisa nulis lagi di blog ini adalah disebabkan satu keputusan salah yang saya buat di tahun 2022, yaitu membeli MacBook Air M1 yang harganya jauh lebih mahal dari laptop windows kebanyakan. Iya, saya salah karena sebetulnya saya belum mampu beli device ini secara cash. Haha. Saat ini alhamdulillah saya sudah menikah & memiliki seorang anak. Anak perempuan lucu bernama Zhafira. Jadi lima tahun saya tapa menulis blog ini adalah waktu panjang yang saya isi dengan keputusan-keputusan penting dalam hidup. Menyukai perempuan - menikah - punya anak: itu sungguh pilihan penting yang akan mengubah seluruh hidupmu. Mengubah pandanganmu terhadap realitas dunia yang sedang kamu jalani, mengubah orientasi nilai-nilai yang kamu dapatkan & harapkan.  Mungkin bagi ya