Berdiri sebagai Ibu Kota Negara, Jakarta menjadi kota besar yang penuh dengan beragam kebutuhan, salah satunya listrik. Modern ini, listrik tampaknya telah menjadi kebutuhan primer yang tak dapat dilepaskan dari warga Jakarta. Masalahnya kebutuhan ini terus meningkat selaras dengan pertumbuhan masyarakat. Pemadaman listrik bergulir di sebagian wilayah Jakarta akhir-akhir ini menjadi bukti dari tingginya beban listrik di Jakarta. Namun, benarkah tingginya kebutuhan listrik di Jakarta menjadi satu-satunya alasan fenomena yang merugikan banyak orang itu? PLN yang masih menjadi perusahaan monopolistik milik negara, seharusnya tidak perlu melakukan pemadaman bergilir bila infrastruktur yang ada dirawat dan dikembangkan secara optimal, sehingga dapat mengejar pertumbuhan kebutuhan listrik yang tak bisa dihindarkan.
Ibarat cerita dan derita yang tiada akhir, pemadaman listrik di beberapa wilayah di Jakarta terjadi 2-3 kali dalam sepekan. Setiap pemadaman berlangsung antara empat hingga enam jam. Peristiwa pemadaman bergilir itu disebabkan empat kerusakan gardu utama sebagai hulu pemasok kebutuhan listrik Jakarta. Pertama, terbakarnya Gardu induk PLN di kawasan Jakarta Timur, 29 September 2009. Kedua, terbakarnya sebuah trafo yang dimiliki Gardu Induk Tegangan Tinggi Cawang. Terakhir, kerusakan trafo di gardu induk listrik Gandul dan Pembangkit Listrik Tenaga Gas dan Uap (PLTU) Muara Karang. Namun, yang menjadi pertanyaan, mengapa ada lebih dari satu kecelakaan yang tidak disengaja itu.
Ternyata, penyebab utama kurangnya pasokan listrik di Jakarta lebih disebabkan oleh gangguan yang terjadi pada Interbus Transformer (IBT) nomor dua 500/150kV - 500 MVA atau 400MW yang disertai dengan terbakarnya IBT nomor dua milik PLN di Gardu Induk Tegangan Ekstra Tinggi (GITET) Cawang. Hal itu berdampak pada pemadaman listrik terhadap 200.000 konsumen. Sehubungan dengan kejadian tersebut, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) melakukan audit investigasi teknologi untuk dapat memberikan rekomendasi teknologi kepada PT PLN Persero.
Dalam kesimpulan hasil audit teknologi itu, awal kebakaran di GITET yang beroperasi sejak tahun 1999 itu terjadi karena adanya ledakan pada bushing fasa R. Ledakan ini diduga disebabkan oleh meningkatnya dielectric losses dan thermal instability karena temperatur trafo cukup tinggi, yaitu 98ÂșC. Peningkatan ini mempengaruhi konduktor bushing yang akan menurunkan kapasitas isolasinya, sehingga terjadi pemanasan didalam bushing. Temperatur trafo yang tinggi ini disebabkan oleh pembebanan pada trafo di GITET Cawang yang mencapai 90% dari kapasitasnya dalam waktu yang lama secara terus menerus sepanjang hari. Masih dalam hasil audit teknologi, GITET Cawang memerlukan paling sedikit satu unit trafo berkapasitas 500 MVA. Satu unit berfungsi untuk menurunkan pembebanan pada trafo yang ada saat ini, sehingga masing-masing akan memikul maksimum 60% beban, tidak seperti kondisi saat ini dimana trafo dibebani hingga 94% dari kapasitasnya (384 MW). Idealnya, diperlukan trafo satu unit lagi yang berfungsi sebagai cadangan, sehingga pemeliharaan dapat dilakukan sesuai SOP (Standard Operation and Procedure).
Jadi, jelaslah permasalahan kelistrikan nasional kita sesungguhnya. Perawatan dan pembangunan pembangkit dan jaringan untuk memenuhi kebutuhan, bahkan menambah cadangan kapasitas level yang aman jika terjadi gangguan, tidak bias ditawar dan ditunda lagi. Karena pengelolaan listrik nasional masih dimonopoli perusahaan Negara, logikanya Negara atau pemerintah, juga harus sekuat tenaga, all out, untuk menyelesaikan permasalahan ini.
Persoalan, bahkan berlaku umum bagi kita sebagai bangsa ialah lemahnya manajemen. Lihat saja sejumlah proyek dari paket proyek 10.000 megawatt yang belum akan beroperasi tahun ini. Tidak ada satupun dari 25 proyek pembangunan pembangkit listrik di luar Jawa akan beroperasi mulai tahun 2009 (Kompas, 30/11). Penyelesaian proyek-proyek tersebut terhambat akibat lambatnya proses pembangunan awal yang seharusnya dimulai tahun 2006, namun rata-rata baru efektif pada 2008. padahal, pembangunan sebuah pembangkit sampai menghasilkan energi listrik membutuhkan waktu konstruksi sekitar tiga tahun, bahkan hingga lima tahun.
Pembenahan sistem kelistrikan di Jakarta membutuhkan waktu lama. Kendala krisis kelistrikan di Ibu Kota ini bukan pada kapasitas pembangkit, melainkan persoalan pada transmisi dan gardu induk. Manajer Komunikasi Korporat PT PLN, Ario Subijoko menyatakan, Saat ini beban daya pada mayoritas gardu induk 90% atau lebih, sehingga beban tak bisa dialihkan jika ada trfo yang terganggu. Persoalan transmisi dan gardu induk ini menjadi pemicu krisis energi listrik ini. Listrik di Jawa dan Bali bisa saja kembali mengalami pemadaman bergilir apabila terjadi kerusakan di salah satu gardu induk sebagaimana yang terjadi di Cawang dan Kembangan akhir September lalu.
Pemerhati bidang kelistrikan Universitas Gadjah Mada, Tumiran, meminta pemerintah untuk segera membenahi infrastruktur dan jalur distribusi listrik nasional untuk menjamin ketersediaan listrik bagi masyarakat. Anggota Dewan Energi Nasional itu menegaskan, krisis listrik saat ini tak perlu terjadi bila usangnya peralatan listrik yang telah tua dan kerap rusak menjadi perhatian pengelola kelistrikan nasional. Pemerintah, dalam hal ini PLN, perlu berupaya meremajakan peralatan yang telah usang guna mempersiapkan kota Jakarta yang jauh dari keresahan akan krisis energi listrik ini.
Banyak pembangkit, gardu, dan jaringan yang sudah tua dan telah beroperasi dalam kapasitas penuh. Sedikit gangguan saja, sarana vital itu langsung rusak dan berhenti mengalirkan listrik. Itulah yang terjadi di balik fenomena pemadaman listrik bergilir yang kerap meresahkan dan mengganggu selama ini. Tidak cukup hanya dengan memperbaiki kerusakan-kerusakan yang disebabkan kelalaian pengelolaan infrastruktur, namun juga langkah antisipasi yang tak bisa ditawar lagi. Sering kali kita terlambat mengantisipasi problem yang bakal dihadapi. Padahal, sebenarnya bisa dikalkulasi dengan cermat. Justru baru gelagapan bila potensi itu menjadi realitas.
Ibarat cerita dan derita yang tiada akhir, pemadaman listrik di beberapa wilayah di Jakarta terjadi 2-3 kali dalam sepekan. Setiap pemadaman berlangsung antara empat hingga enam jam. Peristiwa pemadaman bergilir itu disebabkan empat kerusakan gardu utama sebagai hulu pemasok kebutuhan listrik Jakarta. Pertama, terbakarnya Gardu induk PLN di kawasan Jakarta Timur, 29 September 2009. Kedua, terbakarnya sebuah trafo yang dimiliki Gardu Induk Tegangan Tinggi Cawang. Terakhir, kerusakan trafo di gardu induk listrik Gandul dan Pembangkit Listrik Tenaga Gas dan Uap (PLTU) Muara Karang. Namun, yang menjadi pertanyaan, mengapa ada lebih dari satu kecelakaan yang tidak disengaja itu.
Ternyata, penyebab utama kurangnya pasokan listrik di Jakarta lebih disebabkan oleh gangguan yang terjadi pada Interbus Transformer (IBT) nomor dua 500/150kV - 500 MVA atau 400MW yang disertai dengan terbakarnya IBT nomor dua milik PLN di Gardu Induk Tegangan Ekstra Tinggi (GITET) Cawang. Hal itu berdampak pada pemadaman listrik terhadap 200.000 konsumen. Sehubungan dengan kejadian tersebut, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) melakukan audit investigasi teknologi untuk dapat memberikan rekomendasi teknologi kepada PT PLN Persero.
Dalam kesimpulan hasil audit teknologi itu, awal kebakaran di GITET yang beroperasi sejak tahun 1999 itu terjadi karena adanya ledakan pada bushing fasa R. Ledakan ini diduga disebabkan oleh meningkatnya dielectric losses dan thermal instability karena temperatur trafo cukup tinggi, yaitu 98ÂșC. Peningkatan ini mempengaruhi konduktor bushing yang akan menurunkan kapasitas isolasinya, sehingga terjadi pemanasan didalam bushing. Temperatur trafo yang tinggi ini disebabkan oleh pembebanan pada trafo di GITET Cawang yang mencapai 90% dari kapasitasnya dalam waktu yang lama secara terus menerus sepanjang hari. Masih dalam hasil audit teknologi, GITET Cawang memerlukan paling sedikit satu unit trafo berkapasitas 500 MVA. Satu unit berfungsi untuk menurunkan pembebanan pada trafo yang ada saat ini, sehingga masing-masing akan memikul maksimum 60% beban, tidak seperti kondisi saat ini dimana trafo dibebani hingga 94% dari kapasitasnya (384 MW). Idealnya, diperlukan trafo satu unit lagi yang berfungsi sebagai cadangan, sehingga pemeliharaan dapat dilakukan sesuai SOP (Standard Operation and Procedure).
Jadi, jelaslah permasalahan kelistrikan nasional kita sesungguhnya. Perawatan dan pembangunan pembangkit dan jaringan untuk memenuhi kebutuhan, bahkan menambah cadangan kapasitas level yang aman jika terjadi gangguan, tidak bias ditawar dan ditunda lagi. Karena pengelolaan listrik nasional masih dimonopoli perusahaan Negara, logikanya Negara atau pemerintah, juga harus sekuat tenaga, all out, untuk menyelesaikan permasalahan ini.
Persoalan, bahkan berlaku umum bagi kita sebagai bangsa ialah lemahnya manajemen. Lihat saja sejumlah proyek dari paket proyek 10.000 megawatt yang belum akan beroperasi tahun ini. Tidak ada satupun dari 25 proyek pembangunan pembangkit listrik di luar Jawa akan beroperasi mulai tahun 2009 (Kompas, 30/11). Penyelesaian proyek-proyek tersebut terhambat akibat lambatnya proses pembangunan awal yang seharusnya dimulai tahun 2006, namun rata-rata baru efektif pada 2008. padahal, pembangunan sebuah pembangkit sampai menghasilkan energi listrik membutuhkan waktu konstruksi sekitar tiga tahun, bahkan hingga lima tahun.
Pembenahan sistem kelistrikan di Jakarta membutuhkan waktu lama. Kendala krisis kelistrikan di Ibu Kota ini bukan pada kapasitas pembangkit, melainkan persoalan pada transmisi dan gardu induk. Manajer Komunikasi Korporat PT PLN, Ario Subijoko menyatakan, Saat ini beban daya pada mayoritas gardu induk 90% atau lebih, sehingga beban tak bisa dialihkan jika ada trfo yang terganggu. Persoalan transmisi dan gardu induk ini menjadi pemicu krisis energi listrik ini. Listrik di Jawa dan Bali bisa saja kembali mengalami pemadaman bergilir apabila terjadi kerusakan di salah satu gardu induk sebagaimana yang terjadi di Cawang dan Kembangan akhir September lalu.
Pemerhati bidang kelistrikan Universitas Gadjah Mada, Tumiran, meminta pemerintah untuk segera membenahi infrastruktur dan jalur distribusi listrik nasional untuk menjamin ketersediaan listrik bagi masyarakat. Anggota Dewan Energi Nasional itu menegaskan, krisis listrik saat ini tak perlu terjadi bila usangnya peralatan listrik yang telah tua dan kerap rusak menjadi perhatian pengelola kelistrikan nasional. Pemerintah, dalam hal ini PLN, perlu berupaya meremajakan peralatan yang telah usang guna mempersiapkan kota Jakarta yang jauh dari keresahan akan krisis energi listrik ini.
Banyak pembangkit, gardu, dan jaringan yang sudah tua dan telah beroperasi dalam kapasitas penuh. Sedikit gangguan saja, sarana vital itu langsung rusak dan berhenti mengalirkan listrik. Itulah yang terjadi di balik fenomena pemadaman listrik bergilir yang kerap meresahkan dan mengganggu selama ini. Tidak cukup hanya dengan memperbaiki kerusakan-kerusakan yang disebabkan kelalaian pengelolaan infrastruktur, namun juga langkah antisipasi yang tak bisa ditawar lagi. Sering kali kita terlambat mengantisipasi problem yang bakal dihadapi. Padahal, sebenarnya bisa dikalkulasi dengan cermat. Justru baru gelagapan bila potensi itu menjadi realitas.
Komentar