Bumi nusantara ini sedang ramai oleh
sebuah peristiwa yang diadakan lima tahun sekali. Peristiwa yang diharapkan
dapat menjadi titik tolak perubahan ke arah yg lebih baik. Proses demokrasi
yang mengawali pergeseran kekuasaan bangsa, yang memulai harapan kita tumbuh
sebagai bangsa yang besar untuk lima tahun ke depan.
Sebenarnya ini bukan soal kenapa
ataupun siapa. Ini hanya tentang bagaimana: bagaimana kemajuan bangsa ini direfleksikan
oleh beragam karakter yang menghargai hak pilihnya atau tidak. Ini juga tentang
apa: apa mereka (yang akan mengatasnamakan rakyat) benar-benar membawa
kepentingan rakyat sebagai sumber daya utama kemajuan bangsa. Atau mereka hanya
menjunjung tinggi kebutuhan rakyat hanya saat kampanye. Namun ketika terpilih
justru mati-matian berjuang memenuhi kepentingan pribadi dan partainya. Ini
bisa dilihat dari jumlah rupiah yang harus dikeluarkan para calon legislatif
untuk menggelembungkan pamornya di mata para pemilih. Logika sederhana yang
berkaitan dengan teori ekonomi mempertanyakan konsekuensi logis dari fenomena
itu. Bagaimana ketika sudah banyak modal yang dikeluarkan, maka harus ada
pemasukan yang kiranya mampu menutupi beban pengeluaran.
Ada pula perilaku konvensional yang
masih dijalani lewat intrik-intrik politik instan pendulangan suara. Dalam
sebuah sesi obrolan ringan dengan seorang teman, saya mendapat informasi
bagaimana perilaku jual-beli suara menjadi lumrah dalam suatu momen pergeseran kekuasaan.
Teman obrolan saya yg kini berprofesi jadi office boy itu bercerita tentang
pengalamannya melakukan transaksi hak pilih dengan KTP asli sebagai bukti awal
jumlah suara yg akan ditukar dengan rupiah. Sepuluh KTP yang terkumpul akan
dihargai Rp500.000, begitu pun kelipatan selanjutnya. Ini terjadi pada Pemilu
2009 lalu, tuturnya.
Rakyat menjadi satu-satunya
orientasi objektif yang harus dirangkul, didekati, diiming-imingi dan dimanja.
Bahkan ada satu partai yang tak ragu mengatasnamakan rakyat dalam nama
partainya. Tapi rakyat yang mana dulu. Apa termasuk daftar rakyat yang dulu
terbunuh dalam peristiwa berdarah Mei 1998? Apakah nama rakyat itu juga
mewakili nama orang-orang yang hilang dalam peristiwa Trisakti 1998 yang lalu?
Bagaimana kita bisa dengan mudah lupakan sejarah kelam kita menuju era
demokrasi yang megah saat ini. Demokrasi menjadi satu kata yang egaliter
terdengar dimana-mana, ketika sebelumnya terdengar hampa karena dijalankan oleh
orde totaliter.
Demokrasi hadir sebagai harapan
segar setelah dimulainya era reformasi. Kata demokrasi juga terselip dalam
bermacam nama partai politik yang ikut kontes pemilihan umum di tahun ini. Satu
kata ini diharapkan menjadi kesan positif tersendiri di era modern bangsa
Indonesia. Namun demokrasi yang seperti apa yang sungguh bisa jadi nilai
positif pertumbuhan bangsa? Apakah demokrasi yang tetap menjunjung feodalnya
politik instan. Atau demokrasi normatif yang dihimpun hegemoni pembentukan
persepsi publik lewat persuasi masif media mainstream. Demokrasi yang
sebenarnya adalah sistem kepemimpinan yang murni berangkat dari kesadaran kita
sebagai pemilih yang cerdas. Subjek-subjek (bukan objek) yang berhak menentukan
dengan cermat masa depan bangsa lima tahun mendatang. Subjek-subjek yang tidak
mudah diimingi imbalan ekonomi karena sadar hak pilihnya bisa meraih potensi kemakmuran
yang jauh lebih besar.
Komentar